PENDAHULUAN
Tiga faktor utama dalam perkembangan sejarah adalah faktor alam, manusia dan
kebudayaan beserta bentuknya. Kelangsungan hidup manusia secara langsung
dipengaruhi oleh lingkungan alam dan fisik tempat tinggal. Usaha manusia dalam
memanfaatkan lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengolah secara
berkelanjutan untuk memenuhi kehidupannya baik kehidupan jasmani seperti pangan
dan papan maupun rohani seperti religi, dari tingkat sederhana sampai kepada
tingkatan yang lebih kompleks.
Manusia, sebagai bagian dari sistem kehidupan turut menciptakan corak dan
bentuk pada lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan manusia dibekali oleh akal
fikiran yang memungkinkan berkembangnya suatu teknologi. Teknologi merupakan
salah satu unsur yang dapat menentukan tingkat kebudayaan manusia apabila
mencermati perkembangan kehidupan manusia melalui tinggalan arkeologi, terlihat
bahwa manusia melalui kebudayaannya akan berusaha merespon lingkungan alam
dimana ia merupakan salah satu unsurnya.
Perkembangan budaya pada kala Plestosen berjalan lambat. Hal ini mencerminkan
kesulitan manusia pada masa ini dalam menghadapi tantangan alam. Pada kala
Holosen lingkungan alam mengalami perubahan yang drastis sehingga lingkungan
semakin stabil dan alternatif pemenuhan kebudayaan semakin banyak. Dengan
gejala tersebut maka kebudayaan pada kala ini berjalan lebih cepat dibandingkan
dengan masa sebelumnya. Kebudayaan pada kala Holosen di Indonesia ditandai
dengan munculnya kelompok budaya baru melalui inovasi di bidang teknologi
maupun sosial ekonomi. Contoh kebudayaan tersebut meliputi budaya Hoabinian,
kelompok industri serpih bilah, kelompok industri tulang Sampungian, dan
kelompok budaya lukisan gua.
Keterkaitan manusia dengan lingkungan alam akan terlihat dari pemanfaatan
bentang alam dan sumberdaya batuan, selain pemanfaatan binatang dan tumbuhan.
Pemilihan tempat hunian secara tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa
pertimbangan, diantaranya ketersediaannya sumber daya alam, keamanan, akses
yang mudah pada lokasi sumber daya, efektifitas dan efisiensi energi
operasional dalam pengelolaan sumber daya.
Pada tahap awal, karakter hunian lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan dari
pada kecerdasan. Gua sebagai tempat tinggal merupakan satu tahap sebelum
kehidupan yang lebih menetap. Kehidupan pada tahap ini masih bersifat sementara
(semi-permanen) yang dipengaruhi keberadaan sumber daya di lingkungan sekitar.
Pada tahap berikutnya, manusia hidup secara permanen (menetap) di suatu tempat
dengan kehidupan dan kebutuhan yang lebih kompleks, termasuk kebutuhan dalam
kehidupan religi. Pada masa ini mulai muncul monumen-monumen yang ditujukan
sebagai kepentingan religi (megalitik).
PENELITIAN DI GUA TOGI NDRAWA
Gua Togi Ndrawa di Dusun II, Desa Lolowonu Niko’otano, Kecamatan Gunung Sitoli,
Kabupaten Nias. Terletak antara 010 16.960’ LU dan 970 35.675’ BT dengan
ketinggian 175 dpl dan berjarak sekitar 3 km dari Gunung Sitoli. Situs ini
terletak pada lereng perbukitan dengan karakter terjal dan sedang. Memiliki
empat mulut gua yang memanjang dari arah Selatan ke Utara. Mulut gua menghadap
ke Timur dan Tenggara dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi atap gua yang
berbeda-beda.
Penelitian arkeologi di Gua Togi Ndrawa oleh Balai Arkeologi Medan secara
bertahap dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Rangkaian
penelitian tersebut menghasilkan data mengenai kehadiran manusia di situs
tersebut. Adapun temuan yang dihasilkan berupa alat-alat batu yang berkarakter
mesolitik, diantaranya serpih batu, batu pukul dan pipisan. Temuan lain berupa
sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (Pisces), ular (Ophodia), buaya
(Squamosa), kura-kura (Testudinidae), hewan pemakan daging (Carnivora), Hewan
pengerat (Rodentia), kelelawar (Chiroptera), hewan berkuku genap (Artiodactyla)
dan Primata cangkang moluska yang terdiri dari kelas Gastropoda dan Pelecypoda.
Kemudian penelitian dilanjutkan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, Jakarta dan Institu de Recherche pour de Developpment, Perancis.
Kehadiran manusia di dalam gua ini tercermin dari temuan-temuan arkeologis yang
ditemukan seperti cangkang moluska, sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi),
batu yang memiliki indikasi sebagai alat, arang sebagai sisa pembakaran, oker
dan temuan lainnya. Selain itu pada lapisan ini ditemukan alat dari tanduk,
beberapa batu pukul, dan batu andesit lonjong. Selain dari temuan artefaktual,
kegiatan manusia tercermin pada sisipan abu berwarna keputihan yang merupakan
abu sisa pembakaran tersebut.
Indikasi kehidupan manusia sampai pada kedalaman kurang lebih 400 cm. Hal ini
tercermin dari data artefaktual yang masih ditemukan sampai kedalaman ini.
Temuan yang cukup menarik pada salah satu kotak gali yaitu batu andesit lonjong
dengan karakter sebagai alat pemukul, batu pukul dan alat (spatula) dari
tanduk. Selain itu pada kotak ini ditemukan juga sisa-sisa vertebrata berupa
rahang bawah (mandibula) dari macaca.sp dan fragmen rahang Suidae, canin Suidae
dan beberapa gigi yang kemungkinan dari famili Suidae pula.
Dari beberapa temuan tulang, terdapat lima artefak, yaitu : dua lancipan
berbahan tulang, dua spatula dari tulang panjang dan satu spatula dari tanduk
rusa (Cervidae).
Determinasi terhadap lancipan tulang didasari atas adanya jejak reduksi dari
anggota tulang panjang sehingga menghasilkan satu fragmen memanjang, bidang
yang dihaluskan dan usaha peruncingan pada bagian ventral fragmen. Pada spatula
tulang dan tanduk pengamatan terfokus pada adanya jejak penghalusan pada bagian
ventral dan jejak peretusan pada wilayah tersebut. Beberapa cangkang moluska
menunjukkan adanya modifikasi lebih lanjut sebagai peralatan sehari-hari
(artefak). Tipelogi artefak cangkang hasil temuan penggalian ini, berdasarkan
satuan analisis terdiri dari : serut, serut penusuk, penggosok dan penusuk.
Analisis yang dilakukan, artefak litik dari situs Togi Ndrawa berasal dari
bahan batu gamping, andesit dan batuan kuarsa. Secara tipologi artefak litik
dari situs Togi Ndrawa terdiri dari chopper, chopping tool, pipisan, serut
samping, serut gerigi, serut berpunggung, serut ujung, serut cembung dan gurdi.
Hasil analisis dengan menggunakan metode radio carbon atas sampel moluska yang
ditemukan di dalam tanah serta sampel abu pembakaran dihasilkan kronologi absolut
yaitu berturut-turut dari kedalam 15 cm sampai 400 cm di bawah permukaan tanah
menghasilkan : 850±90 BP (Before Present), 1330±80 BP, 1540±90 BP, 3540±100 BP,
5540±110 BP, 7890±120 BP, 8590±140 BP, 9180±150 BP, 9540±210 BP, 11.010±250 BP,
12.170±400 BP.