Senin, 14 November 2016

Beo Nias, Peniru Suara yang Hampir Punah

Istilah membeo sudah sangat memasyarakat. Kebiasaan mengikuti ucapan orang lain yang dilakukan burung beolah yang menjadi ide istilah itu. Ironisnya, semakin banyak orang yang mempunyai kebiasaan membeo, tapi beo Nias (Gracula religiosa) —salah satu jenis beo pintar dari Pulau Nias— justru kian sedikit populasinya.

Berdasar penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) bersama Departemen Kehutanan, pada akhir 1996 sampai Agustus 1997, jumlah beo Nias di habitat tinggal tujuh ekor. Barangkali jumlah burung cerdas ini di pasar burung atau sangkar para pecinta burung justru lebih banyak lagi. Namun yang jelas, beo Nias kini dilindungi sebagai hewan langka dengan dasar hukum Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931, SK Mentan Tanggal 26 Agustus 1970 No. 421/Kpts/Um/8/1970, UU No. 5 Tahun 1990.

Masuk dalam bangsa Passerifosmes dan suku Strunidae, beo Nias memang berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Mereka termasuk burung berukuran sedang, dengan panjang tubuh 40 sentimeter. Bagian kepalanya berbulu pendek. Sepanjang cuping telinga menyatu di belakang kepala dan bentuknya menggelambir ke arah leher. Gelambir cuping telinga ini berwarna kuning mencolok.

Di bagian kepala juga terdapat sepasang pial yang berwarna kuning dan terdapat di sisi kepala. Iris matanya berwarna coklat gelap. Paruh runcing berwarna kuning agak oranye. Hampir seluruh badannya tertutup bulu yang berwarna hitam pekat, kecuali bagian sayap berbulu putih. Kaki berwarna kuning dengan jari-jari berjumlah empat. Tiga jari di antaranya menghadap ke depan, sedangkan yang lain menghadap ke belakang.

Mereka suka menghuni hutan-hutan rimba yang berdekatan dengan perkampungan atau tempat terbuka. Beberapa tahun silam mereka masih bisa ditemui di kawasan Pulau Nias, Pulau Babi, Pulau Tuangku, Pulau Simo dan Pulau Bangkaru. Tapi kini sudah cukup sulit untuk dicari. Maklum saja, beo Nias betina sekali bertelur hanya menghasilkan dua sampai tiga butir telur saja. Itu pun tidak semuanya bisa bertahan hingga menetas.

Jenis burung satu ini sangat senang hidup berpasangan, terkadang berkelompok. Membuat sarang di pohon-pohon berbatang tinggi dan tegak, dengan cara membuat lubang-lubang pada pohon tersebut. Sarang dibuat pada saat menjelang bertelur. Beo Nias merupakan pemakan serangga dan buah-buahan serta memiliki suara yang sangat keras, nyaring dan pintar menirukan berbagai suara

Cara pemeliharaan yang paling tepat bagi burung ini adalah secara ex-situ (di luar habitat asli) di kebun binatang, taman burung dan penangkaran.

Sumber : Sinar Harapan

Nias dengan Kekhasan Bahasanya

Nias merupakan salah satu dari misteri besar Indonesia. Tipe khas budaya megalitik yang muncul di Nias tidak dikenal di daerah lain mana pun di Indonesia, misalnya arsitektur rumah raja-raja di kampung-kampung Nias Selatan agaknya unik. Kebiasaan dan tradisi masyarakat Nias tidak terkait dengan kebiasaan dan tradisi yang terdapat di pulau-pulau tetangga Nias tetapi memiliki banyak keserupaan dengan kebiasaan dan tradisi dari tempat-tempat yang lebih jauh, yang mengindikasikan bahwa masyarakat Nias mungkin berasal dari tempat yang jauh itu.

Pulau Nias yang tergolong kecil tetapi memiliki perbedaan bahasa yang dipakai di setiap daerahnya. Perbedaan yang signifikan bisa dilihat antara bahasa di daerah Nias bagian Utara atau barat dengan bahasa di daerah Nias bagian Selatan. Atau antara bahasa di Nias bagian Selatan dengan Nias bagian tengah. Lebih uniknya lagi misalnya di daerah Nias Selatan ; antara desa dengan desa yang lain pasti dialeknya berbeda, bahkan desa bertetangga saja pun pasti berbeda. Misalnya antara Desa Hilimaemölö dengan Desa Hilisimaetanö, antara Desa Bawömataluo dengan Desa Siwalawa atau Ono Hondrö, dll. Tetapi dengan perbedaan itu, maka pada umumnya masyarakat Nias Selatan mudah mengenal asal kampung atau desa seseorang dari logat atau dialek bahasanya, begitu juga untuk membedakan asal daerah seseorang dari Nias Selatan dengan Nias Tengah atau dengan Nias Utara.

Secara umum masyarakat Nias membedakan bahasa Nias sesuai dengan daerahnya menjadi 4 bahasa yaitu bahasa Nias Utara (biasa disebut Li Niha Gunusitoli), Bahasa Nias Barat (biasa disebut Li Niha Lahömi), bahasa Nias Tengah (biasa disebut Li Niha Gomo) dan bahasa Nias Selatan (biasa disebut Li Niha Taludala). Sebenarnya tidak ada sesuatu yang mengatur penggolongan bahasa tersebut tetapi ini terbentuk dengan sendirinya ditengah-tengah masyarakat Nias.

Cakupan daerah yang berbahasa Nias Utara yang disebut Li Niha Gunusitoli adalah daerah Gunung Sitoli dan sekitarnya, Li Niha Lahömi : Sirombu, Mandrehe dan sekitarnya, Li Niha Gomo : Gomo dan sekitarnya, Li Niha Taludala : Teluk Dalam, Tello, dan sekitarnya.

Pada waktu Injil masuk di Nias, telah membawa perubahan yang yang sangat drastis dalam pola hidup masyarakat Nias. Salah satu kontribusi/sumbangsih para misionaris di Nias yang sampai hari ini bisa kita nikmati adalah terjemahan Injil dalam bahasa Nias (Li Niha Gunusitoli) yang menjadi buku pertama berbahasa Nias dan disusul dengan buku nyanyian gereja.

Dengan penyebaran Injil tersebut diseluruh Nias, secara tidak langsung telah membuat Li Niha Gunusitoli menjadi bahasa nasional masyarakat Nias. Jadi tidak heran kalau orang Teluk Dalam, Orang Gomo, dll, bisa berbahasa atau paling tidak  mengerti Li Niha Gunusitoli, sedangkan orang dari Nias Utara susah mengerti apalagi mempraktekkan bahasa Nias Selatan karena tidak biasa mendengarnya dan juga karena percakapannya halus dan cepat.

Sebagai contoh perbedaan bahasa tersebut bisa kita lihat antara Li Niha Taludala dengan Li Niha Gunusitoli :

Bhs Indonesia                    Li Niha Gunusitoli           Li Niha Taludala 
Makan
Manga
Mana
Bawa kemari…!
Ohe bada’a…!
Doro ga…..!
Dimana ?
Hezo..?
Haega
Tunggu sebentar…!
Baloi sabata…!
Sabata wa’e….!
Dll
Dll
Dll

Selain perbedaan dalam kosa kata dan percakapan seperti contoh diatas, kalau dicermati ada beberapa perbedaan dalam abjad/huruf diantara ke 4 pembagian Li Niha di Nias. Seperti contoh di bawah ini :

  Bhs Indonesia                  Li Niha Gunusitoli    Li Niha Taludala           
Dimana baju saya   tadi, Nak ?
                                 
Hezoso nukha gu nomege, Nogu ?
Haegaso nukha gu noma’e, ΰa ?
Mengapa itu banyak sekali ?
Hanawa oya da’ö sa’e ?
Haΰa ΰa’oya e hö’ö ?
Waduh…makanannya habis di makan……!
Ele…ahori wö i’a gö nia…!
Aö…a’oi i’ae….!
           
NB :   1.   Jenis abjad/huruf (ΰ) hanya merupakan perkiraan dari penulis karena jenis hurufnya tidak ada.
2.      Contoh ketiga, saya diberi masukan oleh Bapak Waspada Wau (A. Chermien Wau), beliau mengatakan bahwa kalimat “aö…a’oi i’ae…!” merupakan kalimat yang terdiri dari “ 8 (delapan) abjad vokal ” dan bisa dikatakan bahwa tidak ada bahasa di dunia ini yang bisa terangkai oleh 8 abjad vokal seperti kalimat dalam bahasa Nias (Li Niha Taludala).
3.      Secara keseluruhan ke 4 Li Niha persamaannya adalah tidak memiliki abjad/huruf “P”.
4.      Kalau ada tambahan ataupun koreksi dari teman-teman langsung saja kita diskusikan di kolom “kese-kese”. Atau kirim e-mail ke “bargham@qualtindo.com or bargham@plasa.com ”
  
S A R A N / U S U L

Dalam rangka untuk melestarikan bahasa Nias, secara pribadi saya melalui tulisan ini, dengan senang hati mendukung adanya website ini dimana di dalamnya ada Kamus Bahasa Nias – Indonesia on-line. Sebagai saran kepada para pengelola website ini, agar kamus bahasa Nias kita bisa mewakili keragaman Li Nono Hiha tersebut, maka sebaiknya di dalam kamus tersebut ditambahkan kolom sinonim dari Li Niha Lahömi, Li Niha Gomo & Li Niha Taludala. Sehingga masyarakat Nias yang terbagi menurut perbedaan bahasa tersebut bisa memberikan input untuk melengkapi kamus ini dan pada akhirnya kamus ini akan menjadi one of the BIG ASSET dari website ini dan juga Kamus Li Nono Niha akan memiliki khas tersendiri dibanding dengan kamus-kamus bahasa daerah lain bahkan mungkin di dunia ini.

Sumber :Bargham Dachi

Rumah Oval Tahan Gempa di Nias Utara


Oleh Evawani Ellisa
 

ARSITEKTUR vernakular ternyata sering memberi inspirasi bagi sejumlah arsitek besar, mulai dari Frank Lloyd Wright hingga penggagas "estetika mesin" Walter Gropius. Ketika merancang kapel Notre Dame d’Huit di Ronchamp yang kemudian menjadi salah satu mahakarya yang legendaris, arsitek Perancis Le Corbusier terinspirasi oleh contoh-contoh bangunan vernakular yang memenuhi buku sketsanya.

FRANK Lloyd Wright menunjukkan kekaguman terhadap para perancang bangunan vernakular melalui definisinya tentang arsitektur vernakular sebagai bangunan yang dibuat oleh mereka yang benar-benar tahu tidak ada yang lebih bijak daripada menyelaraskan karya rancang bangun dengan lingkungan dan kebutuhan.

Para "arsitek" yang hanya mengandalkan logika sederhana namun otentik ini, menurut Wright, jauh lebih unggul dibandingkan dengan mereka yang menjadi arsitek melalui jalur formal. Yang terakhir ini dalam berkarya sering tak mampu melepaskan diri dari pengaruh gaya atau kecenderungan arsitektur pada zamannya.

Pluralitas etnis di wilayah Nusantara merupakan berkah karena kondisi ini memberi kekayaan khazanah arsitektur vernakular yang barangkali keragamannya tak tertandingi negara mana pun. Uniknya, keragaman itu tetap dijalin satu benang merah, yaitu ketahanan mereka terhadap ancaman bencana gempa.

Snouck Hurgronje, antropolog Belanda, dalam observasinya terhadap hunian masyarakat Aceh masa kolonial melaporkan, seorang pencuri akan menggoyang bangunan untuk memastikan apakah penghuni rumah yang akan menjadi calon korban tidur nyenyak. Bila penghuninya berteriak, "Siapa itu?" maka sang pencuri pun akan memutuskan membatalkan aksinya. Laporan Hurgronje memberi gambaran kepada kita bahwa barangkali zaman dahulu nenek moyang kita tidak sepanik kita saat ini ketika mengalami peristiwa gempa bumi.

Di Nias, pulau seluas Bali yang secara geografis merupakan daerah rawan gempa sebagaimana wilayah Aceh, jejak-jejak kearifan para arsitek zaman dahulu juga masih bisa ditemui di Sihare’o Siwahili, desa di Nias Utara. Berbeda dari kawasan desa tradisional di Nias Selatan yang memerlukan waktu dan tenaga ekstra untuk mencapai lokasi mereka dari Gunung Sitoli, desa ini bisa dicapai dengan kendaraan hanya dalam waktu 30 menit melalui jalan aspal yang relatif mulus.

Rumah-rumah vernakular di Nias, walaupun tidak bereaksi ketika digoyang-goyang sebagaimana dahulu rumah di Aceh, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Di bagian kaki bangunan kolom-kolom terbagi menjadi dua jenis, yaitu kolom struktur utama yang berdiri dalam posisi tegak dan kolom penguat yang terletak dalam posisi silang-menyilang membentuk huruf X miring.

Balok kayu ataupun batu besar sengaja diletakkan di sela- sela kolom penguat sebagai pemberat untuk menahan bangunan dari terpaan angin. Sedangkan ujung atas kolom tegak dihubungkan dengan balok penyangga melalui sambungan sistem pasak yang kemudian ditumpangi balok-balok lantai di atasnya.

Kolom-kolom diagonal, tanpa titik awal maupun akhir, jalin-menjalin untuk menopang bangunan berdenah oval dengan kantilever mengelilingi seluruh sisi lantai denah. Bagaikan sabuk, rangkaian balok dipasang membujur sekeliling tubuh bangunan. Di atas sabuk bangunan, sirip-sirip tiang dinding berjarak 80 sentimeter dipasang berjajar dengan posisi miring ke arah luar. Di antara sirip-sirip dipasang dinding pengisi dari lembaran papan.

PENGGUNAAN kolong memang bukan satu-satunya di Nias. Di beberapa wilayah Nusantara, kolong di samping mengemban fungsi struktur juga menciptakan ruang yang cukup efektif untuk menyiasati masalah kelembapan yang ditimbulkan iklim tropis.

Orang Nias Tahun 1150 Masehi Masih Hidup di Dalam Gua

PENDAHULUAN

Tiga faktor utama dalam perkembangan sejarah adalah faktor alam, manusia dan kebudayaan beserta bentuknya. Kelangsungan hidup manusia secara langsung dipengaruhi oleh lingkungan alam dan fisik tempat tinggal. Usaha manusia dalam memanfaatkan lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengolah secara berkelanjutan untuk memenuhi kehidupannya baik kehidupan jasmani seperti pangan dan papan maupun rohani seperti religi, dari tingkat sederhana sampai kepada tingkatan yang lebih kompleks.

Manusia, sebagai bagian dari sistem kehidupan turut menciptakan corak dan bentuk pada lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan manusia dibekali oleh akal fikiran yang memungkinkan berkembangnya suatu teknologi. Teknologi merupakan salah satu unsur yang dapat menentukan tingkat kebudayaan manusia apabila mencermati perkembangan kehidupan manusia melalui tinggalan arkeologi, terlihat bahwa manusia melalui kebudayaannya akan berusaha merespon lingkungan alam dimana ia merupakan salah satu unsurnya.

Perkembangan budaya pada kala Plestosen berjalan lambat. Hal ini mencerminkan kesulitan manusia pada masa ini dalam menghadapi tantangan alam. Pada kala Holosen lingkungan alam mengalami perubahan yang drastis sehingga lingkungan semakin stabil dan alternatif pemenuhan kebudayaan semakin banyak. Dengan gejala tersebut maka kebudayaan pada kala ini berjalan lebih cepat dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kebudayaan pada kala Holosen di Indonesia ditandai dengan munculnya kelompok budaya baru melalui inovasi di bidang teknologi maupun sosial ekonomi. Contoh kebudayaan tersebut meliputi budaya Hoabinian, kelompok industri serpih bilah, kelompok industri tulang Sampungian, dan kelompok budaya lukisan gua.

Keterkaitan manusia dengan lingkungan alam akan terlihat dari pemanfaatan bentang alam dan sumberdaya batuan, selain pemanfaatan binatang dan tumbuhan. Pemilihan tempat hunian secara tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa pertimbangan, diantaranya ketersediaannya sumber daya alam, keamanan, akses yang mudah pada lokasi sumber daya, efektifitas dan efisiensi energi operasional dalam pengelolaan sumber daya.

Pada tahap awal, karakter hunian lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan dari pada kecerdasan. Gua sebagai tempat tinggal merupakan satu tahap sebelum kehidupan yang lebih menetap. Kehidupan pada tahap ini masih bersifat sementara (semi-permanen) yang dipengaruhi keberadaan sumber daya di lingkungan sekitar. Pada tahap berikutnya, manusia hidup secara permanen (menetap) di suatu tempat dengan kehidupan dan kebutuhan yang lebih kompleks, termasuk kebutuhan dalam kehidupan religi. Pada masa ini mulai muncul monumen-monumen yang ditujukan sebagai kepentingan religi (megalitik).

PENELITIAN DI GUA TOGI NDRAWA

Gua Togi Ndrawa di Dusun II, Desa Lolowonu Niko’otano, Kecamatan Gunung Sitoli, Kabupaten Nias. Terletak antara 010 16.960’ LU dan 970 35.675’ BT dengan ketinggian 175 dpl dan berjarak sekitar 3 km dari Gunung Sitoli. Situs ini terletak pada lereng perbukitan dengan karakter terjal dan sedang. Memiliki empat mulut gua yang memanjang dari arah Selatan ke Utara. Mulut gua menghadap ke Timur dan Tenggara dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi atap gua yang berbeda-beda.

Penelitian arkeologi di Gua Togi Ndrawa oleh Balai Arkeologi Medan secara bertahap dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Rangkaian penelitian tersebut menghasilkan data mengenai kehadiran manusia di situs tersebut. Adapun temuan yang dihasilkan berupa alat-alat batu yang berkarakter mesolitik, diantaranya serpih batu, batu pukul dan pipisan. Temuan lain berupa sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (Pisces), ular (Ophodia), buaya (Squamosa), kura-kura (Testudinidae), hewan pemakan daging (Carnivora), Hewan pengerat (Rodentia), kelelawar (Chiroptera), hewan berkuku genap (Artiodactyla) dan Primata cangkang moluska yang terdiri dari kelas Gastropoda dan Pelecypoda. Kemudian penelitian dilanjutkan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta dan Institu de Recherche pour de Developpment, Perancis.

Kehadiran manusia di dalam gua ini tercermin dari temuan-temuan arkeologis yang ditemukan seperti cangkang moluska, sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi), batu yang memiliki indikasi sebagai alat, arang sebagai sisa pembakaran, oker dan temuan lainnya. Selain itu pada lapisan ini ditemukan alat dari tanduk, beberapa batu pukul, dan batu andesit lonjong. Selain dari temuan artefaktual, kegiatan manusia tercermin pada sisipan abu berwarna keputihan yang merupakan abu sisa pembakaran tersebut.

Indikasi kehidupan manusia sampai pada kedalaman kurang lebih 400 cm. Hal ini tercermin dari data artefaktual yang masih ditemukan sampai kedalaman ini. Temuan yang cukup menarik pada salah satu kotak gali yaitu batu andesit lonjong dengan karakter sebagai alat pemukul, batu pukul dan alat (spatula) dari tanduk. Selain itu pada kotak ini ditemukan juga sisa-sisa vertebrata berupa rahang bawah (mandibula) dari macaca.sp dan fragmen rahang Suidae, canin Suidae dan beberapa gigi yang kemungkinan dari famili Suidae pula.

Dari beberapa temuan tulang, terdapat lima artefak, yaitu : dua lancipan berbahan tulang, dua spatula dari tulang panjang dan satu spatula dari tanduk rusa (Cervidae).

Determinasi terhadap lancipan tulang didasari atas adanya jejak reduksi dari anggota tulang panjang sehingga menghasilkan satu fragmen memanjang, bidang yang dihaluskan dan usaha peruncingan pada bagian ventral fragmen. Pada spatula tulang dan tanduk pengamatan terfokus pada adanya jejak penghalusan pada bagian ventral dan jejak peretusan pada wilayah tersebut. Beberapa cangkang moluska menunjukkan adanya modifikasi lebih lanjut sebagai peralatan sehari-hari (artefak). Tipelogi artefak cangkang hasil temuan penggalian ini, berdasarkan satuan analisis terdiri dari : serut, serut penusuk, penggosok dan penusuk.

Analisis yang dilakukan, artefak litik dari situs Togi Ndrawa berasal dari bahan batu gamping, andesit dan batuan kuarsa. Secara tipologi artefak litik dari situs Togi Ndrawa terdiri dari chopper, chopping tool, pipisan, serut samping, serut gerigi, serut berpunggung, serut ujung, serut cembung dan gurdi.

Hasil analisis dengan menggunakan metode radio carbon atas sampel moluska yang ditemukan di dalam tanah serta sampel abu pembakaran dihasilkan kronologi absolut yaitu berturut-turut dari kedalam 15 cm sampai 400 cm di bawah permukaan tanah menghasilkan : 850±90 BP (Before Present), 1330±80 BP, 1540±90 BP, 3540±100 BP, 5540±110 BP, 7890±120 BP, 8590±140 BP, 9180±150 BP, 9540±210 BP, 11.010±250 BP, 12.170±400 BP.

Pekabaran Injil dan Gereja di Nias dan Pulau-pulau Lain Lepas Pantai Sumatera (1865-sekarang)

Artikel ini diambil dari: End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 2. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 211-217.

Keadaan umum

Yang terbesar dan paling padat pendudukknya di antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera ialah Pulau Nias (kini sekitar 550.000). Pulau ini, sama seperti kepulauan Batu, pulau Enggano, dan kepulauan Mentawai, baru dijajah orang Belanda sekitar tahun 1900. Sebelumnya, Belanda hanya menguasai daerah di sekeliling Gunung Sitoli. Penduduknya, khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut, tetapi hidup dari usaha bercocok-tanam (Nias) atau dari pemberian alam (Mentawai). Maka masyarakatnya bersifat tertutup dan adat serta agama turun-temurun berpengaruh besar. Di semua pulau itu terdapat sejumlah pendatang dari Sumatera Barat yang beragama Islam. Daerah Nias Utara berbeda dari Nias Selatan dalam hal logat bahasa dan adat.

Permulaan usaha PI

Akibat perang Hidayat (§ 23), sekitar tahun 1860 beberapa tenaga RMG kehilangan tempat kerja. Salah seorang di antara mereka bernama E.L. Denninger. Sebelum diutus ke Kalimantan ia pun telah menjadi tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin. Oleh Pengurus RMG di Barmen, Denninger disuruh pergi ke tanah Batak, tetapi karena istrinya sakit ia terpaksa tinggal di Padang. Di sana ia menjalin hubungan dengan orang-orang Nias di perantauan. Namun, ia sampai ke kesimpulan bahwa lebih bermanfaat kiranya kalau pergi ke Nias sendiri. Pada tanggal 27 September 1865 Denninger mendarat di Gunung Sitoli. Sebelumnya dua Misionaris (Katolik) bangsa Perancis pernah bekerja di Nias (1832-1835), namun karya mereka tidak meninggalkan hasil yang nyata.

Perluasan sampai tahun 1890

Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha pI di Nias tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitar Gunung Sitoli di pantai timur. Pada hari raya Paskah 1874, pertama kali dilayankan sakramen baptisan kepada 25 orang Nias. Pada tahun 1890 jumlah orang Kristen telah meningkat menjadi 706 jiwa. Meskipun demikian, dalam masa itu telah diciptakan sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian hari. Pertama, orang Kristen Nias telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berperanan besar dalam usaha pI ialah kepala kampung, Ama Mandranga. Di samping itu, terdapat guru-guru serta penatua-penatua yang diangkat oleh zendeling. Pada tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan guru. Tetapi menonjollah bahwa penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil, lebih mengharapkan kedatangan seorang zendeling bangsa Eropa daripada tenaga sesuku mereka. Namun, para zendeling sadar akan peranan penting pembantu-pembantu mereka itu, sehingga mereka tetap berupaya meningkatkan wewenang pembantu itu di mata orang Nias. Pun upaya supaya jemaat-jemaat Nias menjadi swadaya telah dimulai agak dini. Sarana yang hendak disebut terakhir ialah penerjemahan Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh pekabar Injil H. Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lannya (Injil Lukas, 1874; PB, 1891).

Perluasan 1891-1916

Dalam masa 25 tahun berikutnya, usaha pI maju dengan lebih cepat dan sarana-sarana tersebut di atas diperluas. Sebelum perluasan wilayah kekuasaan Belanda berlangsung, zending sudah maju ke Nias Barat (1892) dan Tengah (1895). Sebaliknya, daerah Nias Selatan dan Utara baru dapat ditempati pekabar Injil setelah ditaklukkan oleh gubernemen. Jumlah orang Kristen meningkat dari 706 menjadi 20.000 pada tahun 1915. Sementara itu, para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua menjadi hampir 500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang melayani jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906 ditahbiskanlah pendeta Nias yang pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak pada tahun 1913. Bidang kegiatan para zendeling luas sekali: mereka membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka kebun-kebun kopi, semua dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha pI dan meningkatkan daya ekonomi jemaat Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang Kristen meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya menurun akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih kurang senang melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman keras, kekacauan di bidang perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat, masih merajalela. Pun mayoritas orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang zendeling. "Saya merasa bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".

Kebangunan besar

Lalu berlangsunglah gerakan yang, melihat luasnya dan sifatnya yang khas, boleh dikatakan unik (tiada bertanding) dalam sejarah Gereja. Gerakan itu bertolak di jemaat Helefanicha, dekat Humene. Pada tahun 1916 seorang anggota jemaat terpukau oleh Firman Tuhan yang telah didengarnya di gereja. Di dalam hatinya bertumbuh kesadaran bahwa dirinya tidak layak hadir di hadapan Allah dan bahwa karena dosanya tak mungkin ia masuk ke Kerajaan Allah, tetapi harus dibuang ke neraka. Oleh karena itu, orang tersebut menangis terus-menerus. Karena diduga sakit, teman-temannya membawa dia kepada zendeling di Humene. Tetapi zendeling itu berasal dari kalangan pietis di Jerman, sehingga gejala tersebut tidak asing baginya. Maka dinyatakannya bahwa orang yang bersangkutan bukannya sakit, apalagi sakit jiwa, melainkan berbuat demikian karena menyesali dosanya dan bahwa penyesalan itu telah dikerjakan Tuhan di dalam hatinya. Lalu ditegaskannya kepada orang itu, bahwa ia harus membenahi hubungannya dengan orang-orang yang terhadapnya ia telah bersalah. Tetapi ketika orang yang menyesal itu berbuat demikian maka orang lain, yang kepadanya dimintanya ampun, mulai menangis pula karena menyadari dosanya sendiri. Peristiwa itu terulang terus, sehingga makin banyak orang yang terkena. Para zendeling dan penghantar jemaat kewalahan melayani semua orang yang datang kepada mereka memohon bimbingan. Orang-orang itu baru menjadi tenang setelah dalam hati mereka mendapat tanda yang memastikan keampunan dosa kepada mereka. Setelah dengan demikian mereka dibebaskan dari beban dosa, wajah mereka bersinar karena gembira, dan mereka menempuh kehidupan baru.

Hasil-hasilnya

Kebangunan yang berlangsung selama sepuluh tahun lebih itu membawa hasil besar bagi kehidupan jemaat, untuk perseorangan dan untuk persekutuan. Orang menghayati agama Kristen secara lebih mendalam; kabar kesukaan tentang keampunan dosa telah menjadi kenyataan hidup bagi mereka. Pergaulan antara sesama anggota jemaat menjadi santai, bebas, tidak lagi dibuat kaku oleh kenangan akan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh anggota yang satu terhadap yang lain. Kehidupan persekutuan jemaat diperkaya, sebab, daripada bersikap pasif sambil menunggu tindakan penghantar jemaat, kini anggota jemaat ikut serta dalam segala macam kegiatan persekutuan. Berbagai karunia menyatakan diri, seperti karunia kenabian (1 Kor. 12:10), penyembuhan melalui doa, mimpi-mimpi, keadaan ekstatis. Lahirlah juga sejumlah besar lagu gereja yang baru. Orang melakukan doa syafaat yang satu untuk yang lain. Kuasa adat berkurang. Anggota jemaat bergairah mengabarkan Injil kepada yang belum menerimanya dan mereka ini tertarik pula oleh kehidupan jemaat yang penuh anugerah itu, sehingga jumlah orang Kristen berlipat ganda, dari 20.000 (1915) menjadi 85.000 (1929). Sejumlah anggota jemaat yang berbakat dan giat dapat diangkat menjadi sinenge (guru Injil). Haruslah diakui bahwa di tengah suasana yang penuh emosi itu adakalanya terdapat pula gejala-gejala yang negatif, seperti pembunuhan diri karena putus asa, pemusnahan barang karena hari akhirat dianggap sudah dekat, munculnya nabi-nabi palsu.