Senin, 03 April 2017

Orang Nias Tahun 1150 Masehi Masih Hidup di Dalam Gua

PENDAHULUAN

Tiga faktor utama dalam perkembangan sejarah adalah faktor alam, manusia dan kebudayaan beserta bentuknya. Kelangsungan hidup manusia secara langsung dipengaruhi oleh lingkungan alam dan fisik tempat tinggal. Usaha manusia dalam memanfaatkan lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengolah secara berkelanjutan untuk memenuhi kehidupannya baik kehidupan jasmani seperti pangan dan papan maupun rohani seperti religi, dari tingkat sederhana sampai kepada tingkatan yang lebih kompleks.

Manusia, sebagai bagian dari sistem kehidupan turut menciptakan corak dan bentuk pada lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan manusia dibekali oleh akal fikiran yang memungkinkan berkembangnya suatu teknologi. Teknologi merupakan salah satu unsur yang dapat menentukan tingkat kebudayaan manusia apabila mencermati perkembangan kehidupan manusia melalui tinggalan arkeologi, terlihat bahwa manusia melalui kebudayaannya akan berusaha merespon lingkungan alam dimana ia merupakan salah satu unsurnya.

Perkembangan budaya pada kala Plestosen berjalan lambat. Hal ini mencerminkan kesulitan manusia pada masa ini dalam menghadapi tantangan alam. Pada kala Holosen lingkungan alam mengalami perubahan yang drastis sehingga lingkungan semakin stabil dan alternatif pemenuhan kebudayaan semakin banyak. Dengan gejala tersebut maka kebudayaan pada kala ini berjalan lebih cepat dibandingkan dengan masa sebelumnya. Kebudayaan pada kala Holosen di Indonesia ditandai dengan munculnya kelompok budaya baru melalui inovasi di bidang teknologi maupun sosial ekonomi. Contoh kebudayaan tersebut meliputi budaya Hoabinian, kelompok industri serpih bilah, kelompok industri tulang Sampungian, dan kelompok budaya lukisan gua.

Keterkaitan manusia dengan lingkungan alam akan terlihat dari pemanfaatan bentang alam dan sumberdaya batuan, selain pemanfaatan binatang dan tumbuhan. Pemilihan tempat hunian secara tidak langsung dipengaruhi oleh beberapa pertimbangan, diantaranya ketersediaannya sumber daya alam, keamanan, akses yang mudah pada lokasi sumber daya, efektifitas dan efisiensi energi operasional dalam pengelolaan sumber daya.

Pada tahap awal, karakter hunian lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan dari pada kecerdasan. Gua sebagai tempat tinggal merupakan satu tahap sebelum kehidupan yang lebih menetap. Kehidupan pada tahap ini masih bersifat sementara (semi-permanen) yang dipengaruhi keberadaan sumber daya di lingkungan sekitar. Pada tahap berikutnya, manusia hidup secara permanen (menetap) di suatu tempat dengan kehidupan dan kebutuhan yang lebih kompleks, termasuk kebutuhan dalam kehidupan religi. Pada masa ini mulai muncul monumen-monumen yang ditujukan sebagai kepentingan religi (megalitik).

PENELITIAN DI GUA TOGI NDRAWA

Gua Togi Ndrawa di Dusun II, Desa Lolowonu Niko’otano, Kecamatan Gunung Sitoli, Kabupaten Nias. Terletak antara 010 16.960’ LU dan 970 35.675’ BT dengan ketinggian 175 dpl dan berjarak sekitar 3 km dari Gunung Sitoli. Situs ini terletak pada lereng perbukitan dengan karakter terjal dan sedang. Memiliki empat mulut gua yang memanjang dari arah Selatan ke Utara. Mulut gua menghadap ke Timur dan Tenggara dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi atap gua yang berbeda-beda.

Penelitian arkeologi di Gua Togi Ndrawa oleh Balai Arkeologi Medan secara bertahap dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Rangkaian penelitian tersebut menghasilkan data mengenai kehadiran manusia di situs tersebut. Adapun temuan yang dihasilkan berupa alat-alat batu yang berkarakter mesolitik, diantaranya serpih batu, batu pukul dan pipisan. Temuan lain berupa sisa-sisa vertebrata yang terdiri dari ikan (Pisces), ular (Ophodia), buaya (Squamosa), kura-kura (Testudinidae), hewan pemakan daging (Carnivora), Hewan pengerat (Rodentia), kelelawar (Chiroptera), hewan berkuku genap (Artiodactyla) dan Primata cangkang moluska yang terdiri dari kelas Gastropoda dan Pelecypoda. Kemudian penelitian dilanjutkan bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta dan Institu de Recherche pour de Developpment, Perancis.

Kehadiran manusia di dalam gua ini tercermin dari temuan-temuan arkeologis yang ditemukan seperti cangkang moluska, sisa-sisa vertebrata (tulang dan gigi), batu yang memiliki indikasi sebagai alat, arang sebagai sisa pembakaran, oker dan temuan lainnya. Selain itu pada lapisan ini ditemukan alat dari tanduk, beberapa batu pukul, dan batu andesit lonjong. Selain dari temuan artefaktual, kegiatan manusia tercermin pada sisipan abu berwarna keputihan yang merupakan abu sisa pembakaran tersebut.

Indikasi kehidupan manusia sampai pada kedalaman kurang lebih 400 cm. Hal ini tercermin dari data artefaktual yang masih ditemukan sampai kedalaman ini. Temuan yang cukup menarik pada salah satu kotak gali yaitu batu andesit lonjong dengan karakter sebagai alat pemukul, batu pukul dan alat (spatula) dari tanduk. Selain itu pada kotak ini ditemukan juga sisa-sisa vertebrata berupa rahang bawah (mandibula) dari macaca.sp dan fragmen rahang Suidae, canin Suidae dan beberapa gigi yang kemungkinan dari famili Suidae pula.

Dari beberapa temuan tulang, terdapat lima artefak, yaitu : dua lancipan berbahan tulang, dua spatula dari tulang panjang dan satu spatula dari tanduk rusa (Cervidae).

Determinasi terhadap lancipan tulang didasari atas adanya jejak reduksi dari anggota tulang panjang sehingga menghasilkan satu fragmen memanjang, bidang yang dihaluskan dan usaha peruncingan pada bagian ventral fragmen. Pada spatula tulang dan tanduk pengamatan terfokus pada adanya jejak penghalusan pada bagian ventral dan jejak peretusan pada wilayah tersebut. Beberapa cangkang moluska menunjukkan adanya modifikasi lebih lanjut sebagai peralatan sehari-hari (artefak). Tipelogi artefak cangkang hasil temuan penggalian ini, berdasarkan satuan analisis terdiri dari : serut, serut penusuk, penggosok dan penusuk.

Analisis yang dilakukan, artefak litik dari situs Togi Ndrawa berasal dari bahan batu gamping, andesit dan batuan kuarsa. Secara tipologi artefak litik dari situs Togi Ndrawa terdiri dari chopper, chopping tool, pipisan, serut samping, serut gerigi, serut berpunggung, serut ujung, serut cembung dan gurdi.

Hasil analisis dengan menggunakan metode radio carbon atas sampel moluska yang ditemukan di dalam tanah serta sampel abu pembakaran dihasilkan kronologi absolut yaitu berturut-turut dari kedalam 15 cm sampai 400 cm di bawah permukaan tanah menghasilkan : 850±90 BP (Before Present), 1330±80 BP, 1540±90 BP, 3540±100 BP, 5540±110 BP, 7890±120 BP, 8590±140 BP, 9180±150 BP, 9540±210 BP, 11.010±250 BP, 12.170±400 BP.

Kudeta Jerman Di Pulau Nias

Judul diatas pastinya sangat menarik. Bagaimana sekelompok orang-orang Jerman yang dianiaya di Hindia Belanda bisa berontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Peristiwa sejarah ini sangatlah menarik dan banyak orang yang belum mengetahuinya. Sangat menarik bila sejarah kecil ini—La Petite Histoire istilah Rosihan Anwar—ini diangkat sebagai tulisan utuh berbentuk buku. Setidaknya akan memperkaya khazanah Indonesia umukmnya dan Nioas khususnya. Berikut ini hanya sekelumit cerita menarik tentang kudeta orang Jerman terhadap Belanda di Nias.

Pada 19 januari 1942, kapal Van Imhoff meninggalkan Sibolga. Kapal ini mengangkut 477 internir Jerman ke India. Tidak jauh dari pelabuhan muncul pesawat pengintai Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang menjatuhkan bom ke kapal, perlahan kapalpun tenggelam. Seratus sepuluh orang Belanda, awak kapal dan penjaga tawanan Jerman, berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci. Para tawanan dibiarkan mati konyol di laut. Kapten kapal, sebelum pergi meninggalkan kunci-kunci kepada komandan Jerman yang segera membebaskan para tawanan yang terkurung. Banyak orang Jerman yang panic lalu tenggelam. Salah satunya Walter Spies[1]. Sayangnya sekoci kapal sudah habis disikat orang-orang Belanda. Hanya ada kapal kerja (werkboot) dan sejumlah rakit.[2]
 
Ledakan bom yang dijatuhkan pesawat pengintai Jepang, menyebabkan banyak ikan laut mati disekitar tenggalamnya kapal, akan mengundang ikan hiu. Karenanya tawanan yang selamat berusaha secepat mungkin meninggalkan puing-puing kapal. Kondisi ini juga membuat sebagian tawanan bunuh diri. Bagi yang bersemangat hidup, berusaha membuat rakit dari puing sisa ledakan. Sekelompok tawanan menemukan sebuah perahu dayaung sepanjang 2-3 meter, perahu lalu diisi 14 orang dipimpin oleh Albert Vehring. Ada 200 orang yang tertinggal dalam kapal. Akhirnya sebuah rombongan dengan 2 perahu dan sebuah rakit, dipimpin oleh Vehring, melihat kapal Belanda bernama Boeloengan. Orang-orang Jerman malang itu mengira akan diselamatkan oleh kapal Belanda. Sayang, setelah bertanya: “apa kalian orang Belanda?” karena merasa tidak digubris, Boeloengan keburu kabur begitu tahu yang dijumpainya adalah Jerman yang akan berbahaya bila sekapal, mengingat Jerman adalah musuh mereka secara politis. Membiarkan musuh mati lebih baik daripada menolongnya.[3]

Hampir semua dari mereka, sampai di Nias ditangkap lalu disekap oleh aparat keamanan Belanda disana. Orang Jerman ini akhirnya dibawa ke Gunung Sitoli.[4] Orang-orang Jerman malang yang berjumlah 67 orang mencapai Nias dalam beberapa rombangan. Salah satu rombongan ada terdampar di Nias Selatan.