Senin, 14 November 2016

Rumah Oval Tahan Gempa di Nias Utara


Oleh Evawani Ellisa
 

ARSITEKTUR vernakular ternyata sering memberi inspirasi bagi sejumlah arsitek besar, mulai dari Frank Lloyd Wright hingga penggagas "estetika mesin" Walter Gropius. Ketika merancang kapel Notre Dame d’Huit di Ronchamp yang kemudian menjadi salah satu mahakarya yang legendaris, arsitek Perancis Le Corbusier terinspirasi oleh contoh-contoh bangunan vernakular yang memenuhi buku sketsanya.

FRANK Lloyd Wright menunjukkan kekaguman terhadap para perancang bangunan vernakular melalui definisinya tentang arsitektur vernakular sebagai bangunan yang dibuat oleh mereka yang benar-benar tahu tidak ada yang lebih bijak daripada menyelaraskan karya rancang bangun dengan lingkungan dan kebutuhan.

Para "arsitek" yang hanya mengandalkan logika sederhana namun otentik ini, menurut Wright, jauh lebih unggul dibandingkan dengan mereka yang menjadi arsitek melalui jalur formal. Yang terakhir ini dalam berkarya sering tak mampu melepaskan diri dari pengaruh gaya atau kecenderungan arsitektur pada zamannya.

Pluralitas etnis di wilayah Nusantara merupakan berkah karena kondisi ini memberi kekayaan khazanah arsitektur vernakular yang barangkali keragamannya tak tertandingi negara mana pun. Uniknya, keragaman itu tetap dijalin satu benang merah, yaitu ketahanan mereka terhadap ancaman bencana gempa.

Snouck Hurgronje, antropolog Belanda, dalam observasinya terhadap hunian masyarakat Aceh masa kolonial melaporkan, seorang pencuri akan menggoyang bangunan untuk memastikan apakah penghuni rumah yang akan menjadi calon korban tidur nyenyak. Bila penghuninya berteriak, "Siapa itu?" maka sang pencuri pun akan memutuskan membatalkan aksinya. Laporan Hurgronje memberi gambaran kepada kita bahwa barangkali zaman dahulu nenek moyang kita tidak sepanik kita saat ini ketika mengalami peristiwa gempa bumi.

Di Nias, pulau seluas Bali yang secara geografis merupakan daerah rawan gempa sebagaimana wilayah Aceh, jejak-jejak kearifan para arsitek zaman dahulu juga masih bisa ditemui di Sihare’o Siwahili, desa di Nias Utara. Berbeda dari kawasan desa tradisional di Nias Selatan yang memerlukan waktu dan tenaga ekstra untuk mencapai lokasi mereka dari Gunung Sitoli, desa ini bisa dicapai dengan kendaraan hanya dalam waktu 30 menit melalui jalan aspal yang relatif mulus.

Rumah-rumah vernakular di Nias, walaupun tidak bereaksi ketika digoyang-goyang sebagaimana dahulu rumah di Aceh, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Di bagian kaki bangunan kolom-kolom terbagi menjadi dua jenis, yaitu kolom struktur utama yang berdiri dalam posisi tegak dan kolom penguat yang terletak dalam posisi silang-menyilang membentuk huruf X miring.

Balok kayu ataupun batu besar sengaja diletakkan di sela- sela kolom penguat sebagai pemberat untuk menahan bangunan dari terpaan angin. Sedangkan ujung atas kolom tegak dihubungkan dengan balok penyangga melalui sambungan sistem pasak yang kemudian ditumpangi balok-balok lantai di atasnya.

Kolom-kolom diagonal, tanpa titik awal maupun akhir, jalin-menjalin untuk menopang bangunan berdenah oval dengan kantilever mengelilingi seluruh sisi lantai denah. Bagaikan sabuk, rangkaian balok dipasang membujur sekeliling tubuh bangunan. Di atas sabuk bangunan, sirip-sirip tiang dinding berjarak 80 sentimeter dipasang berjajar dengan posisi miring ke arah luar. Di antara sirip-sirip dipasang dinding pengisi dari lembaran papan.

PENGGUNAAN kolong memang bukan satu-satunya di Nias. Di beberapa wilayah Nusantara, kolong di samping mengemban fungsi struktur juga menciptakan ruang yang cukup efektif untuk menyiasati masalah kelembapan yang ditimbulkan iklim tropis.

Kolong juga dapat menghindari kontak langsung penghuni dengan tanah yang cenderung becek saat hujan. Berbeda dari daerah lain, di Nias kolong tidak menjadi ruang positif yang berfungsi sebagai tempat menenun, menyimpan barang, atau memelihara ternak, melainkan benar-benar mengemban fungsi struktural.

Kolom-kolom ini berukuran cukup besar sehingga kekokohannya bukan saja mampu mempertinggi angka keamanan bangunan terhadap gempa, tetapi secara psikologis juga memberi perasaan aman bagi penghuninya sebab di atas kolom berdiri dengan megah bangunan berskala besar dengan atap menjulang. Roxana Waterson, pakar antropologi arsitektur tradisional dari National University of Singapore, menyatakan, di seluruh kawasan Asia Tenggara rumah Nias Utara adalah karya arsitektur vernakular paling ekspresif dalam menampilkan kesan monumentalitasnya.

Di bagian tengah bangunan, kolom-kolom dari kolong yang menjulang ke atas menembus lantai hingga bubungan atap bertugas mendukung struktur atap. Sedangkan di bagian pinggir bangunan, kolom berhenti di atas ruang hunian dan membentuk jurai atap. Sebagaimana dinding, atap bangunan juga mengikuti bentuk lantai yang oval. Daun sagu yang dianyam pada sebilah bambu menghasilkan lembaran yang dirangkai sebagai penutup atap.

RUMAH Nias Utara bukan saja menampilkan kesan monumental, tetapi juga berperan sebagai wadah bertinggal yang leluasa dan nyaman. Denah dengan pola open lay out memudahkan penghuni mengatur tata ruang sesuai selera.

Pola paling umum adalah membagi ruang menjadi empat bagian, cukup dengan meletakkan dinding penyekat bersilangan tegak lurus satu sama lain di tengah ruangan. Sistem denah terbuka juga membuat rumah vernakular ini sangat adaptif dengan kebutuhan masyarakat masa kini sebab pemilik rumah dapat leluasa menggunakan berbagai perabot modern di dalamnya.

Kenyamanan ruang cukup terjaga karena elemen rumah dirancang secara cerdik menggunakan prinsip arsitektur tropis. Di tempat-tempat yang diinginkan, bilah dinding papan bisa diganti jerajak untuk menciptakan bukaan. Di ruang duduk lantai di sepanjang dinding umumnya sengaja ditinggikan dan sebuah bangku diletakkan menempel sepanjang dinding. Dari bangku ini penghuni memandang bebas ke arah luar. Dinding miring memungkinkan privasi karena seluruh kegiatan di balik rumah tidak tampak dari luar walaupun jerajak dibiarkan terbuka sepanjang hari. Bukaan dengan posisi miring mampu mengatasi tempias air hujan. Ukurannya cukup lebar sehingga udara dan cahaya alam bebas menerobos masuk ke dalam rumah. Di ruang duduk dan dapur, salah satu bagian atap dapat berfungsi sebagai sky light, cukup dengan cara mendorongnya ke arah luar lalu menopangnya dengan tongkat dari dalam.

Bentuk oval membuat rumah-rumah berdiri bebas satu sama lain. Di Sihare’o Siwahili, beberapa rumah terletak berderet dengan bubungan menghadap ke arah jalan. Di beberapa tempat, sebuah rumah tampak sendirian berdiri anggun di atas bukit dikelilingi oleh hijau pepohonan. Walaupun secara prinsip bentuknya sama, variasi rumah akan terlihat dari proporsi keseluruhannya. Misalnya ada rumah yang memiliki atap lebih tinggi atau lebih curam, sementara yang lain memiliki ukuran lebih besar. Ada juga rumah dengan lengkungan elips nyaris sempurna dibandingkan dengan rumah lainnya.

Rumah di Nias adalah potret tradisi nenek moyang suku Nias yang secara rasional menyiasati ancaman sekaligus potensi alam dalam membina bangunan. Hasilnya, sikap pengekangan diri yang melebur dengan keberanian berekspresi. Titik berat rancangan adalah memenuhi kebutuhan bertinggal, tetapi nilai estetika justru lahir dari logika bahan serta konstruksi dan geometri yang sederhana, jujur, dan tidak rumit.

Walaupun rumah oval di Nias Utara terbukti tahan gempa, mungkin mereka tak akan mampu bertahan dari terjangan tsunami. Para arsiteknya tentu sangat menyadari kekerdilan mereka sebagai manusia. Besar kemungkinan, inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa mereka memilih daerah perbukitan sebagai lokasi meletakkanrumah ovalmereka.

Evawani Ellisa Pengajar Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar