Senin, 14 November 2016

Pekabaran Injil dan Gereja di Nias dan Pulau-pulau Lain Lepas Pantai Sumatera (1865-sekarang)

Artikel ini diambil dari: End, Dr. Th. van den. 2001. Ragi Carita 2. PT BPK Gunung Mulia, Jakarta. Halaman 211-217.

Keadaan umum

Yang terbesar dan paling padat pendudukknya di antara pulau-pulau lepas pantai barat Sumatera ialah Pulau Nias (kini sekitar 550.000). Pulau ini, sama seperti kepulauan Batu, pulau Enggano, dan kepulauan Mentawai, baru dijajah orang Belanda sekitar tahun 1900. Sebelumnya, Belanda hanya menguasai daerah di sekeliling Gunung Sitoli. Penduduknya, khususnya di pulau Nias, tidak menjadi pelaut, tetapi hidup dari usaha bercocok-tanam (Nias) atau dari pemberian alam (Mentawai). Maka masyarakatnya bersifat tertutup dan adat serta agama turun-temurun berpengaruh besar. Di semua pulau itu terdapat sejumlah pendatang dari Sumatera Barat yang beragama Islam. Daerah Nias Utara berbeda dari Nias Selatan dalam hal logat bahasa dan adat.

Permulaan usaha PI

Akibat perang Hidayat (§ 23), sekitar tahun 1860 beberapa tenaga RMG kehilangan tempat kerja. Salah seorang di antara mereka bernama E.L. Denninger. Sebelum diutus ke Kalimantan ia pun telah menjadi tukang sapu cerobong asap rumah-rumah di Berlin. Oleh Pengurus RMG di Barmen, Denninger disuruh pergi ke tanah Batak, tetapi karena istrinya sakit ia terpaksa tinggal di Padang. Di sana ia menjalin hubungan dengan orang-orang Nias di perantauan. Namun, ia sampai ke kesimpulan bahwa lebih bermanfaat kiranya kalau pergi ke Nias sendiri. Pada tanggal 27 September 1865 Denninger mendarat di Gunung Sitoli. Sebelumnya dua Misionaris (Katolik) bangsa Perancis pernah bekerja di Nias (1832-1835), namun karya mereka tidak meninggalkan hasil yang nyata.

Perluasan sampai tahun 1890

Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha pI di Nias tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitar Gunung Sitoli di pantai timur. Pada hari raya Paskah 1874, pertama kali dilayankan sakramen baptisan kepada 25 orang Nias. Pada tahun 1890 jumlah orang Kristen telah meningkat menjadi 706 jiwa. Meskipun demikian, dalam masa itu telah diciptakan sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian hari. Pertama, orang Kristen Nias telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang tokoh Nias yang berperanan besar dalam usaha pI ialah kepala kampung, Ama Mandranga. Di samping itu, terdapat guru-guru serta penatua-penatua yang diangkat oleh zendeling. Pada tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan guru. Tetapi menonjollah bahwa penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil, lebih mengharapkan kedatangan seorang zendeling bangsa Eropa daripada tenaga sesuku mereka. Namun, para zendeling sadar akan peranan penting pembantu-pembantu mereka itu, sehingga mereka tetap berupaya meningkatkan wewenang pembantu itu di mata orang Nias. Pun upaya supaya jemaat-jemaat Nias menjadi swadaya telah dimulai agak dini. Sarana yang hendak disebut terakhir ialah penerjemahan Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh pekabar Injil H. Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lannya (Injil Lukas, 1874; PB, 1891).

Perluasan 1891-1916

Dalam masa 25 tahun berikutnya, usaha pI maju dengan lebih cepat dan sarana-sarana tersebut di atas diperluas. Sebelum perluasan wilayah kekuasaan Belanda berlangsung, zending sudah maju ke Nias Barat (1892) dan Tengah (1895). Sebaliknya, daerah Nias Selatan dan Utara baru dapat ditempati pekabar Injil setelah ditaklukkan oleh gubernemen. Jumlah orang Kristen meningkat dari 706 menjadi 20.000 pada tahun 1915. Sementara itu, para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua menjadi hampir 500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang melayani jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906 ditahbiskanlah pendeta Nias yang pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak pada tahun 1913. Bidang kegiatan para zendeling luas sekali: mereka membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka kebun-kebun kopi, semua dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha pI dan meningkatkan daya ekonomi jemaat Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang Kristen meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya menurun akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih kurang senang melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman keras, kekacauan di bidang perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat, masih merajalela. Pun mayoritas orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang zendeling. "Saya merasa bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".

Kebangunan besar

Lalu berlangsunglah gerakan yang, melihat luasnya dan sifatnya yang khas, boleh dikatakan unik (tiada bertanding) dalam sejarah Gereja. Gerakan itu bertolak di jemaat Helefanicha, dekat Humene. Pada tahun 1916 seorang anggota jemaat terpukau oleh Firman Tuhan yang telah didengarnya di gereja. Di dalam hatinya bertumbuh kesadaran bahwa dirinya tidak layak hadir di hadapan Allah dan bahwa karena dosanya tak mungkin ia masuk ke Kerajaan Allah, tetapi harus dibuang ke neraka. Oleh karena itu, orang tersebut menangis terus-menerus. Karena diduga sakit, teman-temannya membawa dia kepada zendeling di Humene. Tetapi zendeling itu berasal dari kalangan pietis di Jerman, sehingga gejala tersebut tidak asing baginya. Maka dinyatakannya bahwa orang yang bersangkutan bukannya sakit, apalagi sakit jiwa, melainkan berbuat demikian karena menyesali dosanya dan bahwa penyesalan itu telah dikerjakan Tuhan di dalam hatinya. Lalu ditegaskannya kepada orang itu, bahwa ia harus membenahi hubungannya dengan orang-orang yang terhadapnya ia telah bersalah. Tetapi ketika orang yang menyesal itu berbuat demikian maka orang lain, yang kepadanya dimintanya ampun, mulai menangis pula karena menyadari dosanya sendiri. Peristiwa itu terulang terus, sehingga makin banyak orang yang terkena. Para zendeling dan penghantar jemaat kewalahan melayani semua orang yang datang kepada mereka memohon bimbingan. Orang-orang itu baru menjadi tenang setelah dalam hati mereka mendapat tanda yang memastikan keampunan dosa kepada mereka. Setelah dengan demikian mereka dibebaskan dari beban dosa, wajah mereka bersinar karena gembira, dan mereka menempuh kehidupan baru.

Hasil-hasilnya

Kebangunan yang berlangsung selama sepuluh tahun lebih itu membawa hasil besar bagi kehidupan jemaat, untuk perseorangan dan untuk persekutuan. Orang menghayati agama Kristen secara lebih mendalam; kabar kesukaan tentang keampunan dosa telah menjadi kenyataan hidup bagi mereka. Pergaulan antara sesama anggota jemaat menjadi santai, bebas, tidak lagi dibuat kaku oleh kenangan akan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh anggota yang satu terhadap yang lain. Kehidupan persekutuan jemaat diperkaya, sebab, daripada bersikap pasif sambil menunggu tindakan penghantar jemaat, kini anggota jemaat ikut serta dalam segala macam kegiatan persekutuan. Berbagai karunia menyatakan diri, seperti karunia kenabian (1 Kor. 12:10), penyembuhan melalui doa, mimpi-mimpi, keadaan ekstatis. Lahirlah juga sejumlah besar lagu gereja yang baru. Orang melakukan doa syafaat yang satu untuk yang lain. Kuasa adat berkurang. Anggota jemaat bergairah mengabarkan Injil kepada yang belum menerimanya dan mereka ini tertarik pula oleh kehidupan jemaat yang penuh anugerah itu, sehingga jumlah orang Kristen berlipat ganda, dari 20.000 (1915) menjadi 85.000 (1929). Sejumlah anggota jemaat yang berbakat dan giat dapat diangkat menjadi sinenge (guru Injil). Haruslah diakui bahwa di tengah suasana yang penuh emosi itu adakalanya terdapat pula gejala-gejala yang negatif, seperti pembunuhan diri karena putus asa, pemusnahan barang karena hari akhirat dianggap sudah dekat, munculnya nabi-nabi palsu.

Hasil jangka panjang

Sesudah sepuluh tahun, gerakan kebangunan yang besar itu mereda. Lalu dalam banyak hal keadaan semula berlaku kembali. Jemaat kembali menjadi pasif, kerelaan berkorban bagi kehidupan jemaat menghilang lagi, disiplin gereja perlu diterapkan lagi, adat kembali berkuasa di atas hukum Kristen (khususnya dalam hal mas kawin/jujuran yang terlalu tinggi). Dalam dasawarsa-dasawarsa yang kemudian, sebagian dari massa yang masuk Kristen malah memisahkan diri atau berhasil ditarik oleh misi Katolik. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh karena kecilnya jumlah para zendeling dan tenaga terdidik bangsa Nias, sehingga sebagian besar orang Kristen yang baru itu tidak sempat menerima pengajaran secara intensif tentang iman Kristen. Setelah luapan emosi berhenti, agaknya tidak ada pengetahuan serta pengalaman Kristen yang dapat menjadi patokan pada jalan yang ditempuh, sehingga kesimpangsiuran tidak bisa dielakkan. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa peristiwa kebangunan besar kebangunan besar (bahasa Nias: fangesa sebu´a) itu ada pula hasilnya yang tetap. Seperti yang dikatakan seorang Nias, "Injil yang tadinya baru sampai ke kulit kami, kini telah masuk ke dalam hati kami. Seandainya bapak-bapak meninggalkan kami pada tahun 1914 (tahun permulaan Perang dunia I), maka mungkin agama Kristen akan hilang lagi dari Nias. Kini Injil akan tetap tinggal di pulau kami."

Gereja berdiri sendiri (1930/40)

Setelah gerakan kebangunan mereda, para zendeling mulai memikirkan kemandirian gereja. Pada tahun 1936 selesailah mereka merancangkan tata gereja. Lalu diadakan sinode Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama (November 1936). Sinode itu menerima tata gereja yang telah dirancangkan. Keinginan Pengurus RMG di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota sidang sinode dipenuhi; sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang Kristen Nias, agar setiap distrik gereja diperbolehkan mengutus seorang tokoh masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai anggota yang berhak penuh. Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh gubernemen (§ 41,42). Maka fungsi ketua sinode (Ephorus) diambil alih oleh serang pendeta Nias, bernama Atefona Harefa. pada tahun 1942, para pendeta Belanda yang telah menggantikan orang Jerman yang ditawan itu diinternir pula oleh penguasa Jepang. Maka gereja harus benar-benar berdiri sendiri. Barulah pada tahun 1951 seorang utusan zending dari Jerman (seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh sejumlah orang Eropa yang lain. Namun, kedudukan mereka ini berbeda dengan kedudukan para zendeling sebelum perang: mereka mendapat status "penasihat".

Gerakan kebangunan baru

Setelah kebangunan mereda, rasa rindu akan terulangnya pengalaman yang hebat itu tidak pernah hilang lagi. Dalam tahun ´30-an, dan terutama pada masa perang yang penuh sengsara itu, timbullah gerakan-gerakan baru yang serupa. Hanya, yang menjadi pusat perhatian dalam gerakan-gerakan ini bukanlah pengampunan dosa, melainkan karunia-karunia Roh dan mukjizat-mukjizat. Terdapat karunia bercakap-bercakap dengan bahasa roh (karunia lidah); di dalam ibadah orang secara mendadak mulai gemetar atau berseru-seru (gejala ekstase). Daripada memperkuat persekutuan gereja, gerakan-gerekan ini mengoyak-ngoyakkannya, sebab menjadi biang perpisahan. Gelombang pertama gerakan kebangunan telah menjadikan BNKP sebagai gereja-rakyat di Nias, tetapi gelombang berikutnya merusak kesatuan gerejawi di pulau itu.

Gereja-gereja di samping BNKP

Pada tahun 1933 gerekan Fa´awosa (=persekutuan) mulai memisahkan diri dari pimpinan zending (kemudian BNKP), karena penganutnya menganggap harus mematuhi suara yang langsung diterimanya dari Roh lebih daripada aturan gerejawi. Setelah melepaskan diri dari induk maka kelainan-kelainan yang muncul tidak mungkin lagi diimbangi pengaruh dari saudara Kristen yang berpendapat lain; akibatnya dalam gerakan Fa´awosa itu (yang kemudian pecah menjadi beberapa kelompok) unsur-unsur agama Kristen semakin tercampur dengan unsur-unsur Islam dan agama suku. Pada tahun 1946 berdirilah kelompok lain, yaitu Angowuloa Masehi Idanoi Niha (kemudian namanya diubah menjadi: Agama Masehi Indonesia Nias, kemudian lagi: Gereja Angowuloa Masehi Indonesia Nias, AMIN juga). Akar perpecahan ini bukanlah gerakan kebangunan, melainkan soal wewenang para kepala suku di dalam gereja, yang muncul pada tahun 1936 itu. Dalam gereja AMIN pengaruh kepala suku itu besar. Hal ini mengingat kita akan bentuk gereja dalam lingkungan suku-suku German di Eropa (tahun 500-1000). Pada tahun 1950 sekali lagi segolongan orang Kristen di Nias Barat memisahkan diri dari BNKP, dengan nama Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP). Dalam hal ini soal kedaerahan memainkan peranan disamping unsur kebangunan. Di Nias Selatan, unsur kedaerahan itu ditampung juga oleh misi Katolik Roma, yang mulai bekerja di situ pada tahun 1939. Baik ONKP maupun gereja Katolik Roma kemudian meluas ke seluruh wilayah pulau Nias sambil menyaingi BNKP. Namun, pada akhir abad ke-20 BNKP tetap merupakan gereja mayoritas penduduk Nias, dengan jumlah anggota ± 325.000 (60% penduduk pulau Nias). Di antara gereja-gereja yang telah memisahkan diri dari BNKP, tiga telah diterima menjadi anggota PGI, yaitu AMIN (18.000 anggota), ONKP, dengan 60.000 anggota, dan Gereja Angowuloa Fa´awosa Kho Yesu (AFY, 32.000 anggota). Gereja Katolik Roma di Nias berjumlah 90.000 jiwa.

Kepulauan Batu, Mentawai

Penduduk kepulauan Batu sebagian besar terdiri dari suku yang serumpun dan sebahasa dengan penduduk Nias. Usaha pekabaran Injil dimulai pada tahun 1889 oleh Lembaga pI Lutheran di Negeri Belanda (§ 30). Pada masa perang, gereja di situ berdiri sendiri di bawah pimpinan seorang kepala suku; seusai perang orang Kristen di Kepulauan Batu bergabung dengan BNKP. Mengenai permulaan karya pI di Mentawai terdapat kisah sebagai berikut. Menjelang tahun 1900, pimpinana RMG di Barmen mendapat kiriman sebilah tombak, yang disertai surat dari syahbandar Padang (seorang Belanda), "Dengan tombak ini orang Mentawai telah membunuh seorang awak kapal dagang. Penduduk pulau itu masih orang kafir yang buas semua. Masih berapa lama lagi sampai mereka sempat medengar Injil?" Dengan demikian RMG tergugah untuk mengutus seorang zendeling, August Lett (1901). Ia ini dibunuh pada tahun 1909, pada saat hendak mengantarai pertempuran yang mengancam antara penduduk Mentawai dengan pasukan Belanda (bnd. § 39). Dengan bantuan guru-guru serta pendeta-pendeta Batak, di masa kemudian berhasil didirikan sejumlah jemaat. Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) berdiri sendiri pada tahun 1968. Walaupun dihimpit oleh usaha yang kuat dari pihak Islam dan misi KR, namun kini (1997) gereja ini meliputi 75% penduduk Mentawai, yaitu 24.000 jiwa lebih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar