Rabu, 05 Oktober 2016

Perkawinan dalam Adat Nias


Pelaksanaan perkawinan pada suku Nias memperhatikan beberapa hal berikut, yakni:

Tujuan Perkawinan bagi Etnis Nias

Pada masyarakat Nias  perkawinan memiliki empat tujuan yakni; pertama untuk memperoleh keturunan yang akan mewariskan garis keturunannya. Garis keturunan tersebut diwariskan melalui anak laki-laki. Kedua, untuk memperoleh tingkatan kedudukan sosial dasar, sebagai batu loncatan untuk meraih tingkat kedudukan sosial yang lebih tinggi. Fangambatö merupakan syarat untuk memperoleh bosi yang ketujuh. Dari bosi inilah dia mulai berjuang untuk memperoleh bosi yang lebih tinggi, akhirnya dia memperoleh gelar kebangsawanan Balugu, suatu gelar yang menjadi cita-cita hidup seorang laki-laki Nias pada zaman dahulu. Demikian juga dengan perempuan melalui perkawinan dia memperoleh gelar, misalnya Valen Balaki, Dina Barasi, Lehe Wiro. Gelar inilah yang dipakai sebagai pengganti namanya. Menurut kebiasaan masyarakat Nias jika anak perempuan telah menikah maka nama kecilnya tidak pantas menjadi panggilannya. Apabila anaknya telah lahir barulah nama anaknya tersebut menjadi panggilan mereka misalnya, nama anaknya Yuda maka Ayah dan Ibunya dipanggil dengan sebutan Ama Yuda/Ina Yuda.
Ketiga, tujuan perkawinan supaya dapat mewarisi kedudukan orangtuanya dalam adat. Kedudukan tersebut tidak selamanya diwariskan kepada anak sulung, tapi jika anak sulung tersebut tidak sanggup memenuhinya, maka saudaranya laki-laki yang sanggup menerima memenuhi persyaratan, itulah yang menerimanya. Jadi, jika belum kawin maka harta warisan berupa kedudukan dalam adat tidak dapat diwariskan kepadanya.
Keempat, ialah untuk menyelesaikan permusuhan dalam kampung. Pada zaman dahulu sering terjadi peperangan antar kampung yang disebabkan ingin menguasai kampung orang lain, terhina dalam adat, dan lain-lainnya. Terjadinya perkawinan diantara anak Salawa kedua kampung yang bermusuhan tersebut, maka permusuhan diatara keduanya dapat diselesaikan.

Bentuk-bentuk Perkawinan
 
Bentuk perkawinan yang telah diakui secara adat di Nias yakni :
1. Perkawinan yang didahului dengan famatuasa. Famatuasa yang sering dilaksanakan di Nias yakni Si’o dan Sanema li atau Samatöro.

2. Perkawinan yang disebut famalali bate’e
Perkawinan ini merupakan perkawinan antara  janda dengan saudara laki-laki suaminya. Perkawinan ini adalah suatu keharusan, karena seorang istri adalah hak keluarga suami. Apabila suaminya meninggal, maka saudara laki-laki suaminya berhak mengawininya.
Mengenai böwö dalam perkawinan ini dibayar juga oleh pihak laki-laki, hanya saja böwö yang dibayar besarnya berbeda dengan besarnya böwö dalam bentuk famatuasa. Böwö dalam bentuk perkawinan ini disebut böwö lakha, ketentuannya sebagai berikut :

Böwö yang dibayarkan kepada orangtua janda sebesar, emas 1 siwalu dan satu ekor babi 4 alisi;
    1. Böwö yang dibayarkan kepada banua si laki-laki yakni 4 alisi;
    2. Wajib membayar semua utang mendiang, dan;
    3. Ana’a Fanöngöni yang dibayarkan kepada salawa sebesar tambali siwalu.
Jika, janda tersebut dikawini oleh orang lain maka besarnya böwö lakha tersebut adalah sebagai berikut:
1. Böwö untuk orangtua janda tersebut sebesar, emas =sara siwalu dan satu ekor babi sebesar 4 alisi;
2. Dibayar kepada saudara mendiang berupa böwö lakha yaitu: satu ekor babi 4 alisi;
3. Howuhowu Zolakha, yang diterima oleh ahli waris almarhum berupa emas sebesar sara balaki;
4. Fangali ŵe zusu, yang diterima oleh anak janda sebesar sara balaki;
5. Famatörö zalawa, yang diterima oleh para salawa di desanya berupa emas sebesar fulu saga siwalu, dan;
6. Aya Nuwu, diterima oleh paman janda tersebut, berupa emas sebesar sara siwalu.
Diluar bentuk perkawinan yang biasa seperti di atas, ada juga bentuk perkawinan yang lainnya yakni; pertama, perkawinan  sifagasiwa dimana besarnya böwö dalam bentuk ini sama dengan böwö perkawinan pada perkawinan famatuasa. Kedua, perkawinan sangawuli ba nuwu dalam bentuk ini sama dengan böwö perkawinan pada perkawinan famatuasa. Ketiga, perkawinan lahalö ono yomo. Keempat, perkawinan duda dengan saudara istrinya. Bentuk perkawinan ini dilaksanakan supaya anak lebih terjamin pengurusannya dan supaya harta milik si mendiang tidak menjadi milik perempuan lain. Pembayaran böwö pada perkawinan pertama dan harus di mulai dari peminangan lagi.

Syarat Perkawinan

Tingkatan yang harus dilalui oleh seorang anak laki-laki sebelum ia kawin adalah:
a. Tingkat I atau bosi si sara yakni fangaruwusi dengan merestui anak dalam kandungan ibu
b. Masa kanak-kanak atau bosi wa’iraono terdiri dari; Bosi si dua atau meminta periuk, Bosi sitölu atau pemberian nama dan Bosi siöfa atau penyunatan;
c. Masa Pemuda terdiri dari; Bosi si Lima atau Pemberian Keris dan Bosi si Önö atau keris dihias
Keenam tingkatan Bosi tersebut disebut bosi wairaono, bosi selanjutnya diperoleh jika si laki-laki telah kawin. Sedangkan bosi 8, 10 dan 12 diperoleh dengan berbagai persyaratan yang diresmikan dengan pelaksanaan pesta-pesta dan pesta adat yang disyahkan oleh raja-raja adat atau balugu yang tertua diantara balugu didalam dan di luar wilayah banua.
Perkawinan dianggap sah apabila böwö wangowalu sudah diselesaikan. böwö  wangowalu terdiri dari emas, babi dan padi. Böwö diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, jadi semua pengeluaran dari pihak perempuan berupa alat perlengkapan dan sebagainya sudah diperhitungkan dari böwö yang diberikan pihak laki-laki.
Böwö tidak sekaligus diberikan, tetapi bertahap sejalan dengan tahapan upacara yang dilaksanakan. Upacara tersebut yakni :

1. Fame’e li merupakan upacara penyampaian lamaran atau pinangan. Penyampaian lamaran bisa oleh keluarga pihak laki-laki, tapi alangkah baiknya jika menggunakan pihak perantara atau telangkai yang disebut samatöfa dan Si’o. Pihak perempuan juga menyediakan orang yang berfungsi sebagai penerima penyampaian lamaran dari pihak laki-laki yakni samatöfa yang fungsinya sama dengan pihak laki-laki sebagai penghubung kedua belah pihak dan sanema li.

2. Fame’e laeduru atau memberikan cincin pertunangan dengan membawa jujuran; emas sebanyak 2 siwalu, 2 ekor babi 4 alisi. Fame’e Laeduru merupakan pemberian cincin sebagai tanda telah melaksanakan famatuasa. Upacara ini bertujuan agar orang lain tidak mendekati gadis tersebut dan mempererat tali hubungan kekeluargaan antar kedua belah pihak. Adapun kegiatan yang dilaksanakan yakni;
a. Fame’e bola nafo atau penyerahan kembut sirih yang lengkap dengan lima jenis kembut diantaranya sirih, pinang, gambir, kapur, tembakau dan membawa  alöwota atau bingkisan daging babi yang berisi simbi, alakhaö, daging;
b. Famidi afo atau menyuguhkan sirih;
c.  Olola  huhuo atau musyawarah adat;
d. Femanga atau acara makan bersama;
e.  Fanou’ laeduru atau penyerahan cincin, dan;
f.   Famöhögö ba ziraha afasi atau mengikatkan cincin tersebut pada patung Siraha Afasi.

3.  Fanunu manu atau membakar ayam dengan membawa jujuran emas 1 balaki, 2 siwalu dan 3 ekor babi. Fanunu Manu berfungsi sebagai pemberitahuan kepada semua sanak keluarga. Dalam upacara ini sanak keluarga dan banua dari kedua belah pihak diundang. Upacara ini juga menandakan telah terjalinnya sebuah ikatan hubungan kekeluargaan atau fambabatö.

4.  Famalua li atau menyampaikan hasrat dengan membawa jujuran emas tambali siwalu sebesar 5 gram. Famalua li merupakan peryataan bahwa upacara perkawinan tersebut akan dilanjutkan. Pihak laki-laki dalam upacara ini menanyakan kepada pihak perempuan berapakiranya jumlah jujuran yang harus dipenuhi. Adapun tahap-tahap yang dilaksanakan dalam famalua li yakni:
a. Pihak tome mengirimkan utusan si’o kerumah sowatö dengan membawa bola nafo dan olöwö famangelama;
b. Tahap kedua dilaksanakan fangowai atau penyampaian tujuan;
c. Tahap ketiga yakni fame’e afo atau pemberian sirih;
d. Tahap keempat yakni fanaba’ö olola zumange atau pemotongan babi yang di berikan kepada pihak perempuan;
e. Tahap kelima yakni olola huhuo atau musyawarah adat;
f.  Tahap keenam yakni femanga atau pemberian makan;
g. Tahap ketujuh yakni fame’e bawi famalua li atau penyerahan babi untuk upacara famalua li;
h. Tahap kedelapan yakni fame’e sinulo atau penyerahan emas jujuran sebagai perjanjian;
i. Tahap kesembilan yakni fame’e ana’a famariŵa atau penyerahan emas jujuran sebagai perjanjian;
j. Tahap kesepuluh yakni fangötö bongi atau penentuan hari berlangsungnya perkawinan oleh salawa-salawa pihak sowatö, dan;
k. Tahap terakhir yakni famözi atau pemukulan aramba/gong.

5.  Fame’e fakhe toho atau membawa padi jujuran dengan membawa jujuran emas 1 siwalu, 2 saga tambali siwalu dan 4 ngaso’e padi. Fame’e fakhe toho maksudnya yakni mengantarkan padi/beras untuk keperluan pada pesta perkawinan. Tahap-tahap pelaksanaannya yakni:
a. Si’o dan beberapa orang dari pihak keluarga laki-laki mengantarkan fakhe toho kerumah orangtua perempuan;
b. Salawa dipihak sowatö menakar banyaknya padi/beras, apakah sesuai dengan yang sudah ditentukan;
c. Menyerahkan sua’a wakhe yang bertujuan untuk membayar adat untuk penakaran padi tersebut, dan;
d. Orang yang membawa fakhe toho dijamu dengan makan sederhana dengan lauk babi ni’owuru.

6.  Fangandrö li nina atau memohon waktu dari ibu gadis dengan membawa jujuran emas 1 balaki dan 2 ekor babi. Fangandrö li nina maksudnya yakni memohon kepada ibu perempuan supaya ia menentukan hari perkawinan yang sebenarnya, karena hari perkawinan yang ditentukan oleh salawa-salawa dapat diubah atau diundur. Hari yang ditentukan oleh ibu di sebut bongi adulo yakni hari/malam yang segera akan terjadi atau terlaksanakan dan pasti tidak dapat diubah oleh siapapun, kecuali kalau ada kemalangan.

7.  Fame’e atau menasehati calon pengantin dengan membawa jujuran emas 1 siwalu dan babi 3 ekor.

8.  Famaola ba nuwu atau memberitahukan kepada paman gadis dengan membawa jujuran emas 1 balaki, 2 siwalu dan 2 ekor babi.

9.  Famaigi bawi walöŵa atau menengok babi jujuran adat dengan membawa jujuran emas 2 siwalu dan suguhan makanan dengan lauk babi 4 alisi. Famaigi bawi yakni melihat keadaan atau besarnya babi jujuran perkawinan oleh pihak  sowatö atau orangtua perempuan bersama dengan beberapa orang utusan warga kampung perempuan dirumah orangtua si laki-laki calon pengantin.

10 . Foalau bawi/folohe bawi atau membawa babi jujuran dengan membawa jujuran emas tambali siwalu, 3 ekor anak babi yang sudah masak dengan cara dibungkus dan daging babi sebesar 4 alisi yang sudah dipotong-potong.

11. Falöŵa atau melangsungkan uapacara pernikahan dengan membawa emas 1 balaki dan 6,5 sese.

12. Fame’e gö atau memberi makan penganten dengan membawa emas 1 balaki dan 2 ekor babi.

13. Famuli nukha atau mengembalikan peralatan/pakaian dengan membawa emas jujuran  1,5 siwalu dan 2 ekor babi.

14. Fanöröi Omo atau  rumah saudara bapak yang disebut tana nama dengan membawa sirih.

Semua böwö ini diterima oleh keluarga pihak perempuan yaitu, orangtua yang lazim disebut soboto, iwa, huwa, banua, uwu dan ere. Apabila böwö tersebut kurang atau tidak diberikan kepada keluarga yang disebut di atas dapat menyebabkan perkelahian. Pihak keluarga menyerang orangtua si perempuan, karena beranggapan bahwa semua böwö tersebut telah diberikan oleh pihak laki-laki, tetapi orangtua perempuan menggelapkannya. Jika hal tersebut terjadi maka penganten perempuan tidak akan diturunkan dari rumah karena keluarga menahannya. Böwö memberikan pengaruh yang cukup besar ditunda maupun dibatalkannya upacara perkawinan.

Sumber :
https://dominiriahulu.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar