Senin, 26 September 2016

SEKILAS SUKU NIAS

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias, Sumatera Utara. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka “Ono Niha” (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai “Tanö Niha” (Tanö = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik, ini dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.

Dalam proses sejarah selama ribuan tahun selalu muncul pendatang yang baru, yang memasuki pulau Nias dan juga selalu terjadi pembauran, sehingga lambat laun terjadi satu masyarakat Nias yang sulit dibedakan lagi asal-usul mereka. Dimana tidak terjadi pembauran, karena perbedaan budaya atau agama kurang mengizinkan, di situ terjadi pembentukan kasta-kasta kaum Salawa dan Si’ulu (tingkatan bangsawan). Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut “Sigaru Tora`a” yang terletak di sebuah tempat yang bernama “Tetehöli Ana’a”. Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana’a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.

Di Nias Selatan masih banyak terdapat desa-desa adat. Yang menonjol dari desa-desa adat ini adalah penataan arsitekurnya, baik landskap maupun bangunannya. Dulunya setiap desa di pimpin oleh seorang raja. Desa-desa ini terletak di daerah yang sulit dijangkau seperti di perbukitan terjal atau lembah-lembah yang ada di baliknya. Tujuannya adalah untuk membentengi diri dari serangan desa lain. Pada masa lalu perang antar desa kerap kali terjadi. Penyerbuan sebuah desa oleh desa yang lainnya kerap terjadi. Biasanya disertai dengan penculikan penduduk yang nantinya akan dijadikan budak. Maka struktur masyarakat Nias masa lalu terdiri dari kelas raja, cendikia dan bangsawan, rakyat biasa dan budak. Dan pola pemukiman pun terbentuk dari struktur masyarakat ini. Di mana rumah tinggal raja yang disebut ,Omo Sebua, yang artinya rumah besar terletak di poros pola jalan yang berbentuk tegak lurus, tepat di tusuk satenya. Rumah raja, Omo Sebua, diapit oleh rumah-rumah adat yang lebih kecil lainnya yang disebut Omo Hada. Rumah-rumah adat atau Omo Hada ini kuat menahan gempa, pada gempa lalu banyak menyelamatkan nyawa manusia. Dari 850 lebih korban jiwa hanya satu korban yang tinggal dalam rumah adat, tepatnya di desa Hilimondregeraya, Teluk Dalam. Sebagian besar yang tewas adalah yang tinggal di rumah berkontruksi modern.

Sedikitnya ada 14 desa adat yang bisa dikunjungi yaitu desa Bawodobara, Bawagosali, Bawomataluo, Hiliamaetaliha, Hilifalago, Hilimondregeraya, Hiliganowo, Hilinamauzau’a, Hilinawalo Fau, Hilinawalo Mazino, Hilinamaetano, Hilizalo’otano, Lagundri, Lahusa Fau, Onohondro, dan Orahili. Keempat belas desa adat inilah masih banyak memiliki rumah adat. Tapi tidak semua desa memiliki Omo Sebua, rumah besar atau rumah raja. Tercatat hanya empat desa yang masih memiliki Omo sebua, yaitu desa Hilinawalo Fau, Ono Hondro, Bawomataluo dan Hilinawalo Mazino.

Bagi yang senang berpetualang dan jalan-jalan di pedesaan atau hutan untuk mengunjungi empat desa yang masih memliki Omo Sebua ini bisa mengikuti rute yang memakan waktu tempuh 2 hari perjalanan. Sambil melewati empat desa ini juga rute akan melewati desa-desa lainnya. Rute terbaik desa pertama yang di singgahi adalah Desa Hilinawalo Mazino. Bisa dicapai dari Simpang Auge terus menaiki wilayah perbukitan melewati desa Bawolahusa dan desa Hilizalo’otano. Waktu tempuhnya sekitar 2-3 jam jalan kaki. Kalau hendak naik kendaraan roda empat hanya bisa sampai desa Hilizalo’otano selebihnya berjalan kaki. Sebelum mencapai desa Hilawalo Mazino kita akan melewati area persawahan yang cantik dan berbasah-basah menyeberangi beberapa anak sungai. Sampai di desa ini berkunjunglah ke Omo Sebua dan bertemu dengan ketua adat yang merupakan keturunan raja, namanya Ama Seniwati Bulolo. Orangnya ramah dan menyenangkan, dengan sukarela ia akan mengantarkan kita berkeliling desa melihat kehidupan desa itu. Kita bisa menginap di Omo Sebua ini. Untuk keperluan mandi bisa bergabung dengan penduduk desa di sungai yang berair jernih di belakang desa. Kalau hendak melanjutkan perjalanan bisa berjalan kaki ke desa Hilinawalo Fau. Karena untuk ke desa ini melewati hutan ada baiknya didampingi penduduk setempat sebagai petunjuk jalan. Lamanya perjalanan sekitar 2-3 jam. Sampai di desa ini juga bisa meminta ijin menginap di rumah penduduk. Esok paginya bisa dilanjutkan perjalanan ke desa Ono Hondro sekitar 1 jam perjalanan. Sayangnya Omo Sebua di desa ini tak terawat dan nyaris rusak berat karena ditinggal pemiliknya. Dari desa ini berjalan kaki lagi sekitar 1 jam ke desa Bawomataluo melewati desa Siwalawa. Desa Siwalawa pernah mengalami kebakaran hebat sehingga banyak rumah adatnya musnah, hanya ada beberapa saja rumah adat yang tersisa. Api memang menjadi musuh utama bagi rumah adat Nias. Banyak rumah adat yang musnah karena terbakar. Api juga dulunya dipakai sebagai senjata ampuh oleh desa yang berperang. Karena rumah adat terbuat dari kayu maka dengan cepat api akan merambat dan memusnahkan seluruh isi desa. Kalau kita menginap di desa adat setiap beberapa saat akan terdengar teriakan yang mengingatkan agar menjaga api yang ada di dalam rumah. Teriakan ini berasal penduduk desa yang ronda menjaga kampung siang-malam.

Setelah melewati desa Siwalawa maka sampailah di desa Bawomataluo. Inilah desa adat yang paling fenomenal di Nias selatan. Di desa ini terdapat Omo Sebua yang paling megah di Nias. Di desa ini terdapat 230 rumah adat atau Omo Hada, atau yang terbanyak dari desa adat manapun di Nias Selatan. Di desa ini pemukimannya paling padat. Akses untuk memasuki desa ini bisa melalui pintu belakangnya atau lewat gerbang desa. Karena desa ini terletak di atas puncak bukit untuk mencapai gerbangnya harus menaiki 88 anak tangga dengan sudut 45 derajat. Dari gerbang desa ini kita bisa melihat samudera Hindia dan jika hari menjelang sore matahari senja terlihat tenggelam di samudera itu. Itulah mengapa desa ini di namakan Bawomataluo yang artinya Bukit Matahari. Di desa ini seperti juga di desa lainnya biasa dipertunjukan tarian perang dan atraksi lompat batu yang dalam bahasa Nias disebut Fahombe. Tarian ini berakar pada tradisi perang antar desa yang melambangkan kepahlawanan penduduk desa yang menjaga desanya. Dari gerbang desa Bawomataluo sekitar satu kilometer di bawahnya akan terlihat desa Orahili Fau. Jika masih kuat berjalan bisa berkunjung dengan waktu tempuh setengah jam. Selain keempat desa yang memiliki Omo Sebua itu juga ada desa lain yang tak kalah menariknya untuk wisata budaya, namun sayangnya rutenya berlawanan. Jika sempat bermalam di pantai Sorake ada empat desa lain di sekitarnya yang bisa dikunjungi dalam satu kali perjalanan yaitu desa Hilisimaetano, Bawogosali, Botohilitano dan Hiliamataniha. Banyak pengrajin ukiran kayu, batu dan anyaman tikar di desa-desa adat itu dan semuanya diperdagangkan. Kalau berniat membeli oleh-oleh yang paling tepat adalah hasil kerajinan itu. Tak ada oleh-oleh berbentuk makanan karena budaya kuliner Nias belum berkembang seperti daerah lain di pulau Sumatera. Pilihan makanan di Nias terbatas. Kecuali kalau musim buah durian tiba, banyak orang memproduksi dodol durian untuk oleh-oleh. Harga buah durian pun menjadi murah bisa mencapai seribu rupiah sebutir. Berkunjung ke Nias Selatan serasa menelusuri kehidupan masa lalu, di sana waktu seakan berhenti. Di tengah samudera Hindia yang luas ada jejak budaya megalitikum yang masih hidup sampai saat ini.

Bahasa Nias
 
Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis darimana asal bahasa ini.

Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar 1 juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Suku Nias mengenal enam huruf vokal, bukan lima seperti di daerah di Indonesia lainnya. Suku Nias mengenal huruf vokal a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti dalam penyebutan “enam” ).

Contoh kosakata dalam bahasa Nias dan penggunaannya dalam kalimat;
maena kb tarian massal yang diiringi dengan nyanyian bersama. Dalam maena ada seorang sanunö maena yang menyanyikan bagian narasi dari maena sementara yang lain menyanyikan fanehe maena.

mai kb, judi. Ato zi tobali numana börö mai. Banyak yang jatuh miskin karena judi. Famaisa, perjudian.

maliwa kk bergerak
mangona kk 1. pamitan. Fatua lö mofanö ia mukoli ba mangona ia khö ndra talifusönia. Sebelum dia pergi merantau, ia pamitan kepada sanak saudaranya. 2. fangona, hal berpamitan. manuköu mengantuk. Manuköudo, da ulau mörö. Aku mengantuk, biar aku tidur.

menewi, kemarin. Menewi larugi Jakarta. Kemarin mereka tiba di Jakarta.
me, 1. ketika. Me tohare ira ba ladörö ira ba nomo zahatö khöra. Ketika mereka sampai, mereka menuju ke rumah famili. 2. me sering didahului dengan kata börö yang berarti: karena. (Börö) me simanö wolaumö khönia, ba mofönu ia khöu. Karena demikian perlakuanmu kepadanya, dia marah kepadamu.

a 1. huruf pertama dalam abjad Latin yang digunakan dalam bahasa Nias; 2. makanlah. A göu fakhe: Makanlah nasimu. 3. dan (dalam pengucapan bilangan), Hönö a fitu ngaotu a fulu: Seribu (dan) tujuh ratus (dan) sepuluh.
· abaöbaö ks berpenampilan kaku, tidak ramah, dan cenderung memancing kejengkelan orang lain.

· afo kb, sirih. Terdiri dari daun sirih (tawuo), kapur (betua), gambir (gambe, fangoyo), pinang (fino) dan kadang-kadang tembakau (bago). Pembuatannya adalah sebagai berikut. Selembar daun sirih dibelah dua, tangkai daun dibuang, dan ujung daun yang lancip dipotong. Di atas permukaan bawah (punggung daun) dilengketkan kapur secukupnya, lalu daun (atau getah) gambir diletakkan di atasnya. Lantas daun sirih yang telah dibubuhi kapur dan gambir tadi dilipat tiga sehingga campuran tadi tertutup dalam lipitan tersebut. Di atas lipatan itu diletakkan pinang, lalu daun sirih tadi digulung, berintikan pinang. Sirih siap ditawarkan atau diedarkan. Kadang-kadang tembakau dicampur sewaktu penyiapan, atau secara terpisah dimasukkan ke dalam mulut oleh si penyantap sirih.

· abötu ks 1. (rasa sirih) terlalu banyak kapurnya. Afo sabötu: Sirih yang kebanyakan kapur. 2. terluka tipis di permukaan kulit akibat cakaran atau goresan, dsb. Abötu dangania: Tangannya tergores. 3. mati. Abötu gutu na labe dalu-dalu: Kutu (kepala) mati kalau diobati.

Marga Suku Nias
 
Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya : Amazihönö, Beha, Baene, Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bohalima, Bu’ulölö, Buaya, Bunawolo, Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha, Fau, Farasi, Gaho,Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura, Lafau, Lahagu, Lahomi, La’ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawolo, Lo’i, Lombu, Manao, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Saoiago, Sarumaha, Sihura, Tafonao, Telaumbanua, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu,Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zandroto, Zebua, Zega.
Makanan dan Minuman Khas Nias
Bawi ni’owuru
Dodol durian
Durian
Bawi Ni’unagö (Daging babi yang dikeringkan dengan pengasapan)
Gowi Nihandro/Gowi Nitutu (Ubi tumbuk)
Harinake
Gado-godo
Dedek babi
Tuo Nifarö (minuman khas Nias)

Budaya Nias
Dari kebiasaan berperang antar desa kemudian timbul kesenian Tari Perang dan lompat batu, Fahombe. Acara lompat batu ini dahulu dikhususkan untuk persiapan perang. Karena biasanya setiap desa membentengi dirinya dengan pagar bambu setinggi dua meteran, maka para pria desa di latih untuk bisa melompati pagar itu dengan cara melompati batu. Lompat batu merupakan salah satu contoh budaya yang paling terkenal dan unik, dimana seorang pria melompat diatas sebuah tumpukan batu dengan ketinggian lebih dari 2 meter. Lompatan itu untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria, para pengunjung dapat menyaksikan lompat batu tersebut di desa Bawomatolua, Hilisimaetano atau didesa sekitarnya. Lompat batu dilakukan untuk menunjukkan kedewasaan seorang pria, walaupun hal ini sangat berbahaya tetapi menjadi sebuah olahraga yang menyenangkan.

Tarian perang tradisional Nias juga sangat menarik tetapi jangan takut karena tarian ini bukan untuk menunjukkan perang yang sebenarnya. Para penari mengenakan pakaian tradisional, pakaian yang terbuat dari sabut ijuk dan serat kulit kayu dan kepala mereka dihiasi dengan bulu burung, dan ditangan mereka membawa tombak dan perisai.

Nias memiliki rumah adat yang sangat menarik. Rumah tradisional yang tertua dan terluas yang dinamakan Omo Sebua, yang merupakan rumah asli dan suku yang suka perang terdapat di dea Bawomatulou atau “Sunhill”. Rumah ini tingginya mencapai 22 m dan beberapa tiangnya lebih tebal dari 1 m. Rumah ini masih dimiliki dan ditempati oleh keluarga kerajaan.

Arsitektur dari bangunan ini bagus sekali, mempunyai ukuran dinding yang menarik untuk menghormati upacara pesta yang terkenal dan hiasan perabotnya, seperti meja dan kursi beratnya masing-masing mencapai 18 ton.

Dikebudayaan Nias tarian tradisional merupakan hal penting dan masih ada sampai sekarang, contohnya :
Maluaya (tari perang), terdapat diseluruh daerah Nias. Di bagian utara namanya Baluse. Tarian tersebut ditarikan minimal 12 orang pria, dan bila lebih maka akan lebih baik. Pada umumnya lebih 100 orang, gerakannya sangat kuat. Maluaya di PP Batu berbeda dengan daerah Nias lainnya, di PP Batu para wanita juga turut menari. Para wanita menari dengan langkah kecil yang lemah gemulai. Tarian Maluaya ditarikan pada upacara pernikahan untuk masyarakat kelas atas, penguburan dan pesta untuk menyambut pendatang baru.
Maena adalah sebuah tarian khas dari Nias Utara yang ditarikan oleh wanita dan pria, biasanya ditarikan pada uapacara pernikahan.

Forgaile adalah sebuah tarian khas Nias Selatan yang ditarikan oleh wanita untuk mengekspresikan rasa hormat dan untuk menyambut tamu khusus dan memberikan mereka sirih tradisional. Di bagian Utara dinamakan Mogaele dan dapat ditarikan oleh wanita dan pria.

Foere adalah tarian yang menampilkan lebih dari 12 penari wanita, diiringi dengan seorang penyanyi. Tarian ini merupakan bentuk dari penyembahan untuk berakhirnya kematian dan bencana.

Fanarimoyo (tarian perang) adalah sebuah tarian yang ditarikan di Nias Selatan dan Utara oleh 20 penari wanita, kadang-kadang didalam lingkaran ditarikan oleh penari pria. Dibagian utara tarian ini dinamakan Moyo. Tarian ini dimulai dengan gerakan seperti elang terbang dan ditampilkan untuk acara hiburan. Tarian ini menggambarkan seorang gadis yang harus menikahi pria yang tidak dicintainya. Dia berdoa supaya menjadi seekor elang yang dapat terbang.

Foluaufaulu adalah upacara yang menandakan kedudukan status seseorang pada zaman megalithikum. Dalam upacara ini ditarikan kedua tarian Maluaya dan Foere.
Famadaya Hasijimate (Siulu) adalah sebuah upacara pemakaman bagi keturunan raja di Nias Selatan. Di dalam upacara ini, tarian Maluaya ditarikan dibawah pimpinan desa Shaman, peti mati diukir dari batang kayu pohon dan ukiran kepalanya dihiasi dengan sebuah batang kayu untuk memperlihatkan dasarnya setelah itu jenasah tersebut dikuburkan.

Mandau Lumelume adalah sebuah tarian dengan tujuan untuk memanggil roh. Tarian ini hanya ada di PP Batu.
Manaho adalah tarian yang ditarikan pada acara pernikahan dan untuk menyambut tamu penting. Penari wanita berjejer di depan dan penari pria yang berada di samping melakukan gerakan yang mirip dengan tarian perang. Karena tarian ini sangat mahal biasanya masyarakat kelas bawah menarikan tarian Boli-boli. Tarian ini ditarikan di dalam gedung, dengan tujuan agar tamu tidak terasa bosan. Tarian ini hanya ada di PP Batu.
Tari Tuwa adalah tarian yang menampilkan seorang penari wanita/pria diatas sebuah meja batu, dengan tujuan untuk menghormati para pemimpin.
Fadabu adalah sebuah upacara untuk mempertunjukkan kekebalan seseorang. Sebuah pertunjukan yang menikam dirinya sendiri dengan benda tajam. Didalam bahasa Indonesia namanya Debus dan banyak dijumpai di Indonesia.
Silat Nias adalah sebuah bentuk seni perang tradisional yang lebih menekankan kepada sisi seninya daripada sisi perangnya. Masyarakat Aceh dan pesisir memperkenalkan tarian ini ke Nias. Ada banyak jenis nama-nama tarian ini : Starla, Aleale, Sangorofafa, famosioshi, dll.
Fatabo adalah sebuah peristiwa unik di PP Batu. Fatabo bukan sebuah tarian hanya sebuah cara untuk menangkap ikan di air yang dangkal. Dua baris orang yang masing-masing di bawah pimpinan, berjalan meninggalkan air tersebut dan membawa sebuah kotak. Pemimpin tersebut meminta agar dibuat suara keras dan memukul air tersebut dengan tongkat, kemudian mereka berjalan di atas tanah, menyembunyikan kotak tersebut dan menyimpan ikan tersebut diantara mereka dan pantai. Di pantai lain barisan pria bergerak melemparkan jaringan untuk menangkap ikan. Keseluruhan peristiwa ini adalah sebuah nilai seni yang mempunyai irama musik dan keributan. Fatabo sangat populer di pulau Sigata dan desa Wawa di tanah Masa. Sekarang sangat jarang dijumpai di Nias.
Beberapa alat musik yang digunakan adalah : Dolidoli adalah sejenis gamelan yang terbuat dari kayu atau bambu. Garamba adalah gong besar dan sangat penting dalam musik tradisional Nias. Faritia adalah sebuah alat pemukul. Fondrahi adalah sebuah drum kecil yang terbuka disatu sisinya, bentuk yang lebih besar dinamakan Gondra.

Syair Tradisional Nias “Hoho Hilinawalö-Fau”
Di seluruh Nias, “Hoho” bukan hanya sekedar tuturan lisan biasa. Hoho merupakan temali pengikat jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang. Jembatan yang dapat meneruskan dan menghadirkan peristiwa hidup para leluhur kepada generasinya yang masih ada hingga kini. Hoho merupakan ceritera, legenda dan mite yang dituturkan secara turun-temurun oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan karena pernah mendengar atau mempelajarinya dari orang tua.

Karena itu banyak juga syair Hoho yang dituturkan secara bervariasi dan sesuai dengan kemampuan penutur. Ini merupakan kekayaan dari hoho itu sendiri dan sekaligus menjadi kelemahan. Oleh karena itu, syair dan inti Hoho perlu dianalisa dan tidak bisa diterima atau diaminkan begitu saja. Banyak sejarah masa lalu hanya diketahui lewat tuturan Hoho. Misalnya tuturan lisan mengenai asal-muasal ke empat leluhur orang Nias “Hoho si öfa börö danömö.” Demikian juga seluk beluk mengenai Sirao, Hia dan Ho serta fenomena ibu “Nandrua” di Nias. Hoho yang dituturkan itu merupakan dasar dan awal untuk membuka cakrawala dan analisa kita tentang sejarah Ono Niha.

Begitu banyak versi dan pesan “hoho” di Nias. Sayang sudah langka orang-orang yang mengetahuinya. Pada zaman ini tak ada lagi “ERE” hoho yang sangat handal di Nias. Mereka telah pergi, dan pengetahuan mereka tentang Nias telah terkubur bersama jasat mereka.

Karena itu, sekalipun tidak banyak lagi, Museum Pusaka Nias sedang berusaha mengumpulkan dan merekam “hoho” yang masih ada dan menjadikannya sebagai pengetahuan sejarah dan seni etnik Nias bagi generasi muda yang mencintai dan bangga akan Nias.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar